Subscribe

Minggu, 13 September 2009

Konsep Manusia dalam Psikologi Kognitif (Kenalilah Dirimu Bag. 3)

Dalam behaviorisme, manusia dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan. Bagaimana ia berperilaku tergantung dari stimuli eksternal yang datang menghampirinya. Namun pandangan ini ditentang habis-habisan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Pada saat itu muncul paradigma baru yang berusaha menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif. Bagaimana pandangan psikologi kognitif tentang manusia?


Kaum rasionalis, yang tidak setuju dengan pandangan Behaviorime yang melebih-lebihkan kekuatan pengaruh stimuli eksternal terhadap perilaku manusia, mempertanyakan apakah betul penginderaan kita (melalui pengalaman langsung) sanggup memberikan kebenaran? Bukankah mata kita mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah lidah kita mengatakan rasa teh manis itu pahit, sesaat setelah kita mengulum permen? Bukankah telinga kita baru mendengar detak jam pada saat kita memperhatikannya, padahal jam itu tetap berdetak pada saat kita tidak memperhatikannya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan betapa alat indera kita seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat. Jika demikian apakah bisa dipastikan respon yang akan dilakukan seseorang bila kepadanya dipaparkan stimulus eksternal tertentu?


Jiwalah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi, dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima, misalnya: (1) Seorang ibu yang tidur di samping bayinya tidak mendengar suara yang riuh rendah di sekitarnya, tetapi begitu si kecil bergerak, ibu bangun dengan segera seperti penyelam yang tergesa-gesa muncul di permukaan air laut untuk mengambil napas. (2) Tetapkanlah tujuannya pertambahan, dengan stimuli "dua dan tiga", maka akan menimbulkan jawaban "lima". Sekarang tetapkan tujuannya perkalian, dengan stimuli yang sama dan sensasi auditif yang sama, yakni "dua dan tiga" akan melahirkan respons "enam"… Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan.


Menurut para psikolog Gestalt dari Jerman seperti Meinong, Ehrenfels, Kohler, Weirtheimer dan Koffka, manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu pola stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yg bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Misalnya: Huruf "1" akan dianggap sebagai angka "satu" dalam rangkaian "1,2,3" tetapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian "k,l,m,n" atau huruf "i" dalam tulisan "Indonesia". Hal ini menunjukkan bahwa manusialah yang menentukan makna stimuli, bukan stimuli itu sendiri. Ada proposisi terkenal dalam ilmu komunikasi yaitu: "Words don't mean, but people mean"… Kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. Bunyi "wi" berarti: "kita" menurut orang Inggris, "siapa" menurut orang Belanda, "bagaimana" menurut Jerman, "duhai" menurut Arab, atau hanya sekedar panggilan sayang bagi seorang gadis yang bernama Siwi.


Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukanlah sekedar respons pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Dari Lewin terkenal rumus: B = f(P,E) artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara Person (diri orang itu) dengan Environment (lingkungan psikologisnya.


Sejak pertengahan tahun1950-an, berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (the person as consitency seeker). Di sini, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya, dan antara sistem kepercayaan dengan perilaku. Contoh paling jelas adalah teori disonansi kognitif dari Festinger. Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua kognisi (pengetahuan). Dalam keadaan disonan, orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagai cara. Disonansi membuat orang resah. Kognisi "saya tahu saya senang merokok", disonan dengan "saya tahu rokok merusak kesehatan". Dihadapkan dalam situasi disonan seperti itu, saya akan : (1) mengubah perilaku, berhenti merokok atau memutuskan "Saya merokok sedikit saja…", (2) mengubah kognisi tentang lingkungan, misalnya dengan mengatakan "Hanya perokok berat yang berbahaya…", (3) memperkuat salah satu kognisi yang yang disonan: "Ah, kawan-kawan saya pun banyak yang merokok…", atau (4) mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting, "Tidak jadi soal merokok merusak kesehatan. Toh saya ingin hidup cepat dan mati muda…" Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi disonansi, dan menghindari informasi yang menambah disonansi. Bila Anda terpaksa juga dikenai informasi yang disonan dengan keyakinan Anda, Anda akan menolak informasi itu, meragukan sumbermya, mencari informasi yang konsonan, atau mengubah sikap sama sekali.


Awal tahun 1970-an, teori disonansi dikritik, dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah informasi (the person as information processor). Dalam konsep ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi menjadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi. Contoh perpektif ini adalah teori atribusi. Teori atribusi menganggap manusia sebagai ilmuwan yang naif (naive scientist), yang memahami dunia dengan metode ilmiah elementer.


Kenyataan menunjukkan bahwa manusia tidaklah serasional dugaan di atas. Seringkali malah penilaian orang didasarkan pada informasi yang tidak lengkap dan kurang begitu rasional. Penilaian didasarkan pada data yang kurang lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh prakonsepsi. Manusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menetapkan keputusan (cognitive heuristic / dalil-dalil kognitif). Sebagai contoh, ada orang tua yang segera gembira ketika anaknya berpacaran dengan mahasiswa ITB karena berpegang pada "cognitive heuristics" bahwa mahasiswa ITB mempunyai masa depan yang gemilang (tanpa memperhitungkan bahwa pacar anaknya adalah mahasiswa seni rupa yang meragukan masa depannya). Dari sinilah muncul konsepsi "manusia sebagai miskin kognitif (the person as cognitive miser)".



Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah telah memasukkan kembali "jiwa" manusia yang sudah dicabut oleh behaviorisme. Manusia dalam pandangan psikologi kognitif bukanlah makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan, melainkan makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens).


Semoga bermanfaat



Sumber:

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»

Selasa, 01 September 2009

Tahap-tahap dalam Hubungan Interpersonal

Semua hubungan interpersonal pastilah berakhir, apapun penyebabnya. Betapa pun Anda berusaha mempertahankannya, toh kematian tak mungkin dapat dihindari. Tak ada yang abadi di dunia ini. Demikian pula hubungan interpersonal, ada perjumpaan pastilah ada perpisahan. Namun bila kita telaah lebih jauh masalah ini, ternyata tidak sesederhana hitam dan putih, berjumpa dan berpisah. Hubungan interpersonal mempunyai tahapan-tahapan spesifik dari perkenalan hingga terjadinya perpisahan.


Ketika Anda berjumpa dengan seseorang, sadarkah Anda bahwa Anda telah berubah menjadi bukan diri Anda yang biasanya? Anda berubah karena pertemuan Anda dengan orang itu. Sebaliknya, orang itupun berubah karena kehadiran Anda. Baik Anda maupun orang itu, disadari atau tidak, memainkan peranan tertentu. Selanjutnya perilaku Anda menjadi pengalaman dia, dan perilaku dia menjadi pengalaman Anda, sehingga dapat dikatakan bahwa Anda dan orang itu berbagi pengalaman. Bila pengalaman itu menyenangkan, bila permainan peran berlangsung seperti yang diharapkan masing-masing pihak, bila terjadi hubungan komplementer, maka hubungan itu akan dilanjutkan, dipertahankan, dan diperkokoh. Sebaliknya, bila hubungan Anda dan orang itu hanya menimbulkan kepedihan, bila Anda tidak tahu bagaimana Anda harus bertindak di hadapan orang itu, bila hubungan Anda dan orang itu bersilang (misalnya: orang itu berperan sebagai 'orang dewasa', sedang Anda melihatnya sebagai 'orang tua pada anaknya'), Anda akan mengakhiri hubungan interpersonal dengannya.


Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss (1996) dalam bukunya 'Human Communication' menuliskan analisis Knapp (1984) mengenai siklus hubungan interpersonal yang terdiri dari 10 tahapan, 5 tahap pertama merupakan tahap menuju kebersamaan (coming together) dan 5 tahap berikutnya menuju perpisahan (coming apart). Knapp menganggap hubungan manusia bersifat sekuensial, suatu tahap mengikuti tahap selanjutnya dengan sedikit kesempatan untuk melompat-lompat. Namun harus diingat bahwa perpindahan tahap itu dapat maju atau mundur. Banyak hubungan berhenti pada suatu tahap tertentu (misalnya tahap penjajagan, penggiatan, atau pengikatan), dan tidak berlangsung lebih jauh lagi.


Secara singkat siklus hubungan menurut Knapp saya coba resume-kan di bawah ini.


Tahap Memulai (Initiating) merupakan usaha-usaha yang sangat awal yang kita lakukan dalam percakapan dengan seseorang yang baru kita kenal. Tujuannya adalah untuk mengadakan kontak dan menyatakan minat. Biasanya komunikasi dilakukan dengan hati-hati dan konvensional. Contoh:
"Hai, apa kabar?"
"Baik, bagaimana dengan Anda?"


Tahap Penjajagan (Experimenting) adalah fase di mana kita mencoba topik-topik percakapan untuk mengenal satu sama lain. Biasanya kita banyak mengajukan pertanyaan dan berbasa-basi. Tujuan komunkasi di sini adalah untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan di antara kedua belah pihak dengan cara-cara yang aman. Hubungan akan lebih menyenangkan jika dalam tahap ini berhasil dibangun kepentingan-kepentingan yang sama. Suka atau tidak suka, kebanyakan hubungan kita mungkin tidak berlangsung lebih jauh dari tahap ini. Contoh:
"Oh, jadi Anda senang main ski... Saya juga."
"Benarkah? Bagus. Di mana Anda biasanya main ski?"


Penggiatan (Intesifying) menandai awal keintiman, berbagi informasi pribadi, dan awal informalitas yang lebih besar. Perubahan terjadi dalam perilaku komunkasi verbal maupun nonverbal. Secara verbal, derajat keterbukaan dalam membuka diri lebih besar, misalnya: "Kedua orang tuaku bercerai..." atau "Aku jatuh hati padamu...", dsb. Perubahan komunikasi nonverbal menjadi lebih intim terlihat dari kedekatan fisik, tangan yang berpegangan, kontak mata yang lebih sering , dsb. Contoh percakapan:
"Aku...aku kira aku jatuh cinta padamu."
"Aku... aku juga."


Pengintegrasian (integrating) terjadi bila dua orang mulai menganggap diri mereka sebagai pasangan. Keduanya secara aktif memupuk semua minat, sikap dan kualitas yang tampaknya membuat mereka unik sebagai pasangan. Mereka mungkin juga melakukan hal itu dengan cara simbolik misal bertukar cincin, menyebut suatu lagu sebagai 'lagu kita', dst. Contoh percakapan:
"Aku merasa menjadi bagian dari dirimu..."
"Yah, kita seperti sudah bersatu. Apa yang terjadi padamu terjadi juga padaku."

Pengikatan (Bounding) adalah tahap yang lebih formal atau ritualistik, bisa berbentuk pertunangan atau perkawinan, namun "berhubungan tetap" juga merupakan suatu bentuk pengikatan. Pasangan tsb sepakat menerima seperangkat aturan atau norma yang mengatur hubungan mereka, dan mereka kini lebih sulit untuk berpisah. Contoh percakapan:
"Aku ingin selalu bersamamu."
"Mari kita menikah saja."


Hubungan manusia mungkin stabil dalam tahap-tahap perkembangan sebelum pengikatan, namun hubungan yang mencapai fase paling akrab pun bisa juga merosot lagi. Hanya saja pada fase paling akrab, perpisahan tidak terjadi begitu saja, melainkan berproses, yang ditandai dengan semakin berkurangnya kontak dan keintiman. Lima tahap berikutnya menggambarkan kemerosotan yang dapat terjadi dalam hubungan yang telah mencapai tahap pengikatan.


Pembedaan (Differentiating) terjadi bila dua orang menetapkan bahwa mungkin hubungan mereka terlalu membatasi. Sekarang mereka mulai memusatkan perhatian pada perbedaan-perbedaan daripada kesamaan-kesamaan. Mereka ingin mengerjakan urusan mereka sendiri-sendiri, dan mulai menekankan individualitas. Fase ini ditandai dengan makin seringnya terjadi perselisihan di antara mereka. Contoh:
"Aku tidak suka menghadiri keramaian-keramaian besar."
"Kadang-kadang aku tidak memahamimu. Ini satu perbedaan di antara kita."


Pembatasan (Circumscribing) adalah suatu tahap yang menunjukkan bahwa pasangan mulai mengurangi frekuensi dan keintiman komunikasi mereka. Topik-topik tertentu yang cenderung menimbulkan suasana panas berusaha dihindari. Sikap mereka menjadi lebih formal seolah-olah mereka tidak mengenal satu sama lain secara baik. Contoh:
"Apakah tidak apa-apa kalau aku berjalan-jalan sekarang?"
"Aku tak peduli. Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan."


Stagnasi (Stagnating) menunjukkan kemerosotan hubungan yang semakin jauh sehingga mereka mencoba untuk bertahan dengan alasan-alasan keagamaan atau keuangan, atau demi kebaikan anak-anak, atau faktor lain yang tidak berhubungan dengan daya tarik terhadap pasangannya. Komunikasi verbal dan nonverbal semakin menyerupai komunikasi antara orang-orang asing. Hubungan itu sendiri tak pernah dibicarakan lagi. Contoh:
"Apa yang akan kita bicarakan?"
"OK. Aku tahu apa yang akan kau katakan, dan kau tahu apa yang akan kukatakan."


Penghindaran (Avoiding) adalah suatu taktik untuk meminimalkan penderitaan atas pengalaman hubungan yang merosot sama sekali. Perceraian fisik sering terjadi, atau paling tidak walau pun mereka masih tinggal bersama/berdekatan mereka mampu menjaga kontak yang minimum. Contoh:
"Aku sangat sibuk, aku tidak tahu kapan aku bisa bertemu denganmu."
"Bila aku tak bisa menerimamu saat kau mencoba menghubungiku, harap maklum."


Pemutusan (Terminating) adalah tahap final dalam suatu hubungan. Menurut Knapp, pemutusan hubungan bisa terjadi setelah suatu percakapan singkat maupun setelah tumbuhnya keintiman sepanjang hidup. Umumnya, semakin lama dan semakin penting hubungan itu, semakin menyakitkan perpisahan yang terjadi. Contoh:
"Aku akan pergi...kau tak perlu mencoba menghubungiku lagi."
"Jangan khawatir...tidak akan pernah."


Menurut Jalaluddin Rakhmat (1998), penulis buku 'Psikologi Komunikasi', hubungan interpersonal berlangsung melewati 3 tahap, yaitu: pembentukan hubungan, peneguhan hubungan, dan pemutusan hubungan.


1. Pembentukan Hubungan Interpersonal


Tahap ini sering disebut sebagai tahap perkenalan. Perkenalan adalah proses komunikasi di mana individu mengirimkan (secara sadar) atau menyampaikan (kadang-kadang tidak sengaja) informasi tentang struktur dan isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda pada bermacam-macam tahap perkembangan persahabatan. Initial contact phase (fase kontak awal) ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk "menangkap" informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap, dan nilai pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Bila mereka merasa berbeda, mereka akan berusaha menyembunyikan dirinya, dan hubungan interpersonal mungkin diakhiri. Pada tahap 'saling menyelidik' ini, informasi yang dicari dan disampaikan umumnya berkisar mengenai data demografis, seperti: usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga, dsb.


Dengan data demografis, orang berusaha membentuk kesan tentang diri orang lain.  Katakanlah, Anda lahir di Tapanuli dari keluarga Batak Karo. Saya segera menangkap identitas, sikap, dan nilai-nilai yang Anda anut. Dari informasi itu, saya bisa menduga Anda beragama Kristen. Informasi lebih lanjut tentang pendidikan dan pekerjaan Anda akan mempengaruhi penilaian saya terhadap diri Anda.


Menurut Charles R. Burger (1973), informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori, yaitu: (1) informasi demografis; (2) sikap dan pendapat: tentang orang atau obyek; (3) rencana yang akan datang; (4) kepribadian, misalnya: "Bagaiman Anda menghadapi kenaikan harga sekarang ini?"; (5) perilaku pada masa lalu, misalnya: "Mengapa Anda sekolah di SMP Katholik?"; (6) orang lain, misalnya:"Apakah Anda kenal dengan Suvlika?"; (7) hobi dan minat.


Informasi-informasi itu tidak selalu kita peroleh melalui komunikasi verbal. Kita juga membentuk kesan dari petunjuk proksemik, kinesik, paralinguistik, dan artifaktual. Cara Anda mempertahankan jarak, gerak tangan, lirikan mata Anda, intonasi suara, dan pakaian yang Anda kenakan akan membentuk kesan pertama. Kesan pertama ini amat menentukan apakah hubungan interpersonal harus diakhiri atau diperteguh.Menurut William Brooks dan Phlip Emmert, kesan pertama sangat menentukan, karena itu hal-hal yang pertama kelihatan (hal-hal yang menentukan kesan pertama) menjadi sangat penting. Para ahli psikologi sosial menemukan bahwa penampilan fisik, apa yang diucapkan pertama, apa yang dilakukan pertama mejadi penentu yang penting terhadap pembentukan citra pertama seseorang.



2. Peneguhan Hubungan Interpersonal


Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Ada 4 faktor penting yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan dan memperteguh hubungan interpersonal, yaitu: keakraban, kontrol, respon yang tepat, dan nada emosional yang tepat.


Keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila kedua belah pihak sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan. Jika dua orang melakukan tingkat keakraban yang berbeda, akan terjadi ketidak-serasian dan kejanggalan. Jika A menggunakan teknik sosial seperti berdiri lebih dekat, melihat lebih sering, dan tersenyum lebih banyak daripada B, maka B akan merasa A bersifat agresif dan terlalu akrab, sedangkan A akan merasa B bersikap acuh tak acuh dan sombong.


KontrolIni adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa dan bilamana. Jika dua orang mempunyai pendapat yang berbeda sebelum mengambil kesimpulan, siapakah yang harus berbicara lebih banyak, siapakah yang menentukan, siapakah yang dominan. Konflik terjadi umumnya bila masing-masing pihak ingin berkuasa, atau tidak ada yang mau mengalah.


Ketepatan responsArtinya respons A harus diikuti oleh respons B yang sesuai. Dalam percakapan misalnya, pertanyaan harus disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keterangan dengan penjelasan. Bayangkan apa jadinya jika pertanyaan dibalas dengan pertanyaan, atau lelucon dibalas dengan nasehat. Respons ini bukan saja berkenaan dengan pesan-pesan verbal, tetapi juga pesan-pesan nonverbal. Jika pembicaraan saya yang serius dijawab dengan main-main, ungkapan wajah yang bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang menunjukkan sikap tidak percaya, hubungan interpersonal akan mengalami keretakan. Ini berarti Anda memberikan respons yang tidak tepat.


Keserasian suasana emosional ketika berlangsungnya komunikasi adalah faktor berikutnya yang diperlukan dalam memelihara hubungan interpersonal. Walaupun mungkin saja terjadi dua orang berinteraksi dengan suasana emosional yang berbeda, tetapi interaksi itu tidak akan stabil, besar kemungkinan salah satu pihak mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi. Bila saya turut sedih ketika Anda mengungkapkan penderitaan Anda, saya menyamakan suasana emosional saya dengan suasana emosional Anda. Anda akan menganggap saya "dingin" bila saya menanggapi penderitaan Anda dengan perasaan yang netral.



3. Pemutusan Hubungan Interpersonal


Walaupun kita dapat menyimpulkan bahwa jika empat faktor di atas tidak ada, hubungan interpersonal akan diakhiri, sesungguhnya penelitian tentang pemutusan hubungan masih jarang sekali dilakukan. Namun demikian, kita dapat mengambil analisis R.D. Nye (1973) dalam bukunya "Conflict among Humans". Nye menyebutkan 5 sumber konflik, yaitu:

KompetisiSalah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorbankan orang lain, misalnya menunjukkan kelebihan dalam bidang tertentu dengan merendahkan orang lain.

DominasiSalah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang itu merasakan hak-haknya dilanggar.

KegagalanMasing-masing berusaha menyalahkan yang lain ketika tujuan bersama tidak tercapai.

ProvokasiSalah satu pihak terus-menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan yang lain.

Perbedaan nilaiKedua pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai yang mereka anut.


Semoga bermanfaat.



Sumber:

@ Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss (1996): Human Commnication: Prinsip-prinsip Dasar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

@ Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»