Subscribe

Selasa, 19 Mei 2009

Antara Komunikasi, Perilaku dan Pengalaman Kesadaran Manusia

Menarik sekali membaca kisah Genie dalam buku karya Jalaludin Rahmat(1998): Psikologi Komunikasi. Buku ini adalah buku favorit saya, yang saya beli ketika masih kuliah di Bandung tahun 1996-1999. Sudah 3 kali tuntas saya baca tapi masih tetap menarik untuk dibaca-baca lagi. Kisah tentang Genie menginspirasi kesadaran saya tentang pentingnya komunikasi bagi pertumbuhan kepribadian anak-anak kita. Kisah tsb saya tuliskan kembali di bawah ini.



Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Setiap saat tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, "Dunia tidak akan pernah mengerti."


Mungkin ia benar. Dunia tidak akan pernah mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat begitu sangat membenci anaknya. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, denikian nama samaran gadis tsb, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecil ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tetapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Kakak laki-laki Genielah yang akhirnya berusaha memberi makan dan minum. Itupun sesuai dengan perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakak dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut pada ayahnya.


Ketika Genie masuk rumah sakit, tidak diketahui apakah ia dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia 1(satu) tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, linguis, neurolog, dan mereka yang tertarik mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali ketrampilan mengungkapkan pikirannya dalam bentuk lambang-lambang yang dipahami orang lain. Apakah kurangnya ketrampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang menyebabkan Susan Curtis, profesor linguistik di University of California, mencurahkan waktu 7 tahun untuk meneliti Genie (Pines,1981).



Sayang Jalaludin Rahmat tidak sekalian mengungkapkan hasil penelitian Susan Curtis tentang Genie. Dia hanya ingin menunjukkan dua poin penting dari kisah Genie ini. Pertama, komunikasi amat esensial bagi petumbuhan kepribadian manusia. Ahli-ahli ilmu sosial telah berkali-kali mengungkapkan bahwa kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian. Antropolog terkenal, Ashley Montagu (1967), dengan tegas menulis: "The most important agency through which the child learns to be human is communication, verbal also non verbal."
Kedua, komunikasi amat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia.


Kisah Genie telah menyadarkan saya betapa pentingnya komunikasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bisa jadi, terkadang kita tidak sadar telah melakukan pemasungan anak dalam bentuk yang berbeda dengan Genie. Saat kita memarahi anak dan melarangnya (dengan disertai tekanan dan ancaman) untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya karena apa yang telah dilakukannya, seperti: "Diam kamu! Bisa diam nggak?! Sudah salah masih mau membela diri kamu..." Mungkin menurut kita itu adalah kenakalannya dan harus disampaikan agar anak mengerti dan menyadarinya. Tetapi dengan penyampaian yang penuh tekanan dan bernada ancaman seperti itu bagaimana penerimaan anak? Apakah itu tidak sama dengan pemasungan terhadap kebebasan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya? Alangkah baiknya bila kita dapat lebih bersabar menghadapi kelakuan anak dan menjaga komunikasi yang sejajar (bukan vertikal) sehingga anak juga belajar berkomunikasi di samping belajar untuk introspeksi diri dengan cara yang lebih baik dan lebih nyaman karena tidak dalam tekanan. Semoga kita dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita. Dan yang terakhir, semoga anak-anak kita tidak akan mengalami nasib malang seperti Genie di atas.





Sumber: Jalaludin Rahmat (1998): Psikologi Komunikasi, PT Remadja Rosdakarya, Bandung.

4 komentar:

Rosidi mengatakan...

assalamualaikum
apakabar.....
salam kenal ya

Rosidi mengatakan...

mampir ya keblog saya ....boleh kasih comment
saya tunggu ya...
salam.

Pur Wiyadi mengatakan...

Trm ksh. Sy sdh mampir ke blognya mas Rosidi. Menarik juga pengalamannya kerja di warnet..

Unknown mengatakan...

mas bisa bantu gk ya?
dari masalah sie genie
analisis kasus tersebut dari sudut teori kriminologi,psikoloogi perkembangan anak, dan hubunga perkembangan kepribadian dgn kemampuaan komunikasih menurut mas bagaimana ya
saya sedang kebingungan nie makasih

Posting Komentar