Subscribe

Senin, 28 Desember 2009

Pengaruh Persepsi Interpersonal pada Komunikasi Interpersonal

Sudah jelas bahwa perilaku kita dalam komunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi interpersonal [istilah ini merujuk pada pengertian: manusia (bukan benda) sebagai obyek persepsi]. Bila Anda diberitahu bahwa dosen Anda yang baru itu galak dan tidak senang dikritik, Anda akan berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan. Bila Anda menganggap tetangga Anda sombong dan feodal, Anda akan menghindari bercakap-cakap dengannya. Lalu, bila Anda mempersepsi kawan Anda sebagai orang yang cerdas, bijak, dan senang membantu, Anda akan banyak meminta nasehat kepadanya.

Pada kenyataannya, persepsi orang sering kali tidak cermat. Bila kedua belah pihak yang berinteraksi menanggapi yang lain secara tidak cermat, terjadilah kegagalan komunikasi (communication breakdowns). Coba simak ilustrasi di bawah ini.

Anda menduga istri Anda tidak setia, dan istri Anda menduga Anda sudah bosan dengannya. Komunikasi di antara Anda berdua akan mengalami kegagalan, karena Anda berdua menafsirkan pernyataan orang lain dengan kerangka asumsi tadi. Katakanlah, Anda pulang terlambat dari kantor. Istri Anda kelihatan menyambut Anda dengan gembira. Ia mengungkapkan betapa senangnya Anda pulang setelah cemas menunggu. Karena persepsi di atas, Anda menganggap ucapan istri Anda hanya kamuflase dari ketidaksetiaannya. Dengan suara keras, Anda menanggapi istri Anda, "Ah bilang saja, kamu tidak senang aku pulang cepat." Istri Anda pasti terkejut dan menduga Anda mencari gara-gara untuk menceraikannya. Anda dapat membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.

Kegagalan komunikasi dapat diperbaiki bila orang menyadari bahwa persepsinya mungkin salah! Komunikasi interpersonal kita akan menjadi lebih baik bila kita mengetahui bahwa persepsi kita bersifat subyektif dan cenderung keliru. Seorang psikiater pernah mewawancarai pasiennya seperti ini:
Dokter: "Apa pendapat Nyonya tentang suami Nyonya?"
Pasien
: "Suami saya baik sekali. Bila kami bertengkar dan ia salah, ia cepat-cepat mengakui kesalahannya dan meminta maaf."

Dokter
: "Bagaimana kalau Nyonya yang salah?"

Pasien
: "Saya salah? Itu tidak mungkin terjadi, Dokter."

Pasien ini memang sakit jiwa. Tetapi betapa sering kita menirunya. Kita jarang meneliti kembali persepsi kita, dan cenderung menyangka penilaian kita tidak akan salah.

Akibat lain dari persepsi kita yang tidak cermat ialah mendistorsi pesan yang tidak sesuai dengan persepsi kita. Persepsi kita tentang orang lain cenderung stabil, sedangkan persona stimuli adalah manusia yang selalu berubah. Adanya kesenjangan antara persepsi dengan realitas yang sebenarnya mengakibatkan bukan saja perhatian selektif, tetapi juga penafsiran yang keliru.

Persepsi interpersonal juga akan mempengaruhi komunikate (penerima pesan). Bila saya menduga Susan orang yang lincah, hangat, dan bersahabat, Susan akan berperilaku seperti itu terhadap saya. Komunikasinya dengan saya menjadi lebih bebas, lebih berani, dan lebih terbuka. Inilah yang kita sebut dengan istilah 'nubuat yang dipenuhi sendiri'. Sampai di sini tampaknya pembahasan tentang persepsi interpersonal akan lebih banyak memberi kesempatan kepada pelajaran tentang Konsep Diri untuk menerangkannya karena sesungguhnya konsep diri terbentuk justru disebabkan oleh pandangan orang lain tentang diri kita.

Semoga bermanfaat.




Sumber:

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»

Sabtu, 28 November 2009

Hasrat untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
Aku bermimpi ingin merubah dunia,
Seiring bertambahnya usia dan kearifanku,
Kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah.

Maka cita-cita pun agak kupersempit,
Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku,
Namun...
Tampaknya hasrat itupun tiada hasil.

Ketika usiaku semakin senja,
Dengan semangatku yang masih tersisa,
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku,
Orang-orang yang paling dekat denganku.

Tetapi celakanya,
Mereka pun tak mau diubah...!


Dan kini, sementara aku berbaring saat ajal menjelang,
Tiba-tiba kusadari:

"Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku..."

Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan,
Mungkin aku bisa mengubah keluargaku.

Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
Bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku.

Kemudian, siapa tahu,
Aku bisa mengubah dunia.



(Tertulis pada sebuah makam di Westminster, Inggris, 1100 M)

Readmore »»

Senin, 26 Oktober 2009

Prinsip Belajar


E.L. Thorndike


Thorndike menyatakan ada 2 prinsip belajar, yaitu law of effect dan law of exercise, yang terangkum dalam teorinya yaitu The Connectionism Theory.


Law of Effect

Adalah prinsip yang menyatakan bahwa seseorang dapat dengan cepat menguasai perilaku baru, apabila ia merasa memperoleh susuatu yang menyenangkan, memuaskan ketika melakukan perbuatan (response) yang berkenaan dengan perilaku tersebut di atas.

Law of Exercise
Adalah prinsip yang menyatakan bahwa makin sering perilaku baru itu dipraktekkan atau dilatih penerapannya makin kuat dan makin cepat berintegrasi dengan keseluruhan perilaku kebiasaannya.


Teori Belajar Gestalt

Teori ini disebut juga field theory atau insight full lerning. Dalam pandangan Gestalt, manusia bukan hanya sekadar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau bereaksi jika ada rangsang yang mempengaruhinya.

Manusia adalah individu yang mempunyai kebulatan antara jasmani dan rohani. Secara pribadi manusia tidak secara langsung bereaksi kepada rangsang, dan tidak pula reaksi itu dilakukan secara tidak terarah, tidak pula dilakukan dengan cara trial and error. Reaksi yang dilakukan manusia tergantung pada rangsang dan bagaimana motif-motif yang terdapat pada dirinya. Manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan.


Readmore »»

Minggu, 04 Oktober 2009

Konsep Manusia dalam Psikologi Humanistik (Kenali Dirimu bag. 4)

Psikologi humanistik diangggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang dibentuk oleh lingkungan, sedangkan pada psikoanalisis manusia melulu dipengaruhi oleh naluri primitifnya. Dalam pandangan behaviorisme, manusia adalah robot tanpa jiwa, tanpa nilai. Dalam psikoanalisis, seperti kata Freud sendiri,"We see a man as a savage beast…" Baik psikoanalisis maupun behaviorisme tidak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan seperti cinta, kreativitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi humanistik.


Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis Neo-Freudian (sebenarnya Anti-Freudian) seperti Adler, Jung, Rank, Slekel, Ferenczi, tetapi lebih banyak lagi mengambil dari fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam "dunia kehidupan" yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. "Alam pengalaman setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain," kata Brouwer (1983). Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers yang boleh disebut Bapak Psikologi Humanistik.


Dalam pandangan eksistensialisme, manusia hanya tumbuh dengan baik dalam hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda…subyek dengan subyek, bukan subyek dengan obyek. Di sinilah faktor orang lain menjadi penting, bagaimana reaksi mereka membentuk bukan saja konsep diri kita, tetapi juga pemuasan…apa yang disebut oleh Abraham Maslow sebagai "growth needs". Eksistensialisme menekankan pentingnya kewajiban individu pada sesama manusia. Yang paling penting bukan apa yang didapat dari kehidupan, tetapi apa yang dapat kita berikan untuk kehidupan. Hidup kita baru bermakna hanya apabila melibatkan nilai-nilai dan pilihan yang konstruktif secara sosial.


Perhatian pada makna kehidupan adalah juga hal yang membedakan psikologi humanistik dari mahzab lainnya. Manusia bukan saja pelakon dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencari makna. Freud pernah berkirim surat pada Princess Bonaparte dan menulis bahwa pada saat manusia bertanya apa makna dan nilai kehidupan, pada saat itulah ia sakit. Itu tidak benar, manusia justru menjadi manusia ketika mempertanyakan apakah hidupnya bermakna. Viktor E. Frankle (1967) berkhotbah," Saya pikir sudah saatnyalah kita mengakui kenyataan bahwa manusia bukan sekedar mekanisme atau hasil proses pelaziman, mengakui kemanusiaan manusia, mengakui bahwa manusia adalah wujud yang selalu mencari makna, dan bahwa hatinya selalu resah sebelum menemukan makna dalam hidupnya."


Khotbah Frankle menyimpulkan asumsi-asumsi psikologi humanistik, yaitu: keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan manusia untuk mengembangkan diri. Untuk penjelasannya, coba simak penjabaran asumsi-asumsi ini dalam pandangan Carl Rogers di bawah ini.


Secara garis besar, konsepsi manusia dalam pandangan Humanisme menurut Carl Rogers adalah sebagai berikut:

  1. Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di mana sang Aku, Ku, atau Diriku (the I, Me, or Myself) menjadi pusat. Perilaku manusia berpusat pada 'konsep diri', yaitu persepsi manusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang muncul dari suatu medan fenomenal… medan keseluruhan pengalaman subyektif seorang manusia yang terdiri dari pengalaman-pengalaman Aku dan Ku dan pengalaman yang "bukan Aku".
  2. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.
  3. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya. Ia bereaksi pada "realitas" seperti yang dipersepsikan olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya.
  4. Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri berupa penyempitan dan pengkakuan (rigidification) persepsi dan perilaku penyesuaian serta penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi.
  5. Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam kondisi yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif serta memilih jalan menuju pengembangan dan aktualisasi diri.


















Sampai di sini saya harus sudahi pembahasan tentang konsep manusia. Posting ini merupakan edisi terakhir dari rangkaian posting saya yang berjudul "Kenalilah Dirimu bag. 1 – 4". Bagi pembaca yang ingin menambah wawasan pengenalan diri dan pemahaman tentang konsep manusia dalam pandangan aliran-aliran psikologi lainnya, silakan lihat arsip saya sebelumnya. Oya..perlu saya sampaikan pula bahwa gambar yang saya sertakan di atas tidak ada maksud apa-apa selain just kidding...hehehe. Semoga uraian singkat di atas dan uraian-uraian sebelumnya bermanfaat bagi Anda.



Sumber:

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»

Minggu, 13 September 2009

Konsep Manusia dalam Psikologi Kognitif (Kenalilah Dirimu Bag. 3)

Dalam behaviorisme, manusia dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan. Bagaimana ia berperilaku tergantung dari stimuli eksternal yang datang menghampirinya. Namun pandangan ini ditentang habis-habisan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Pada saat itu muncul paradigma baru yang berusaha menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif. Bagaimana pandangan psikologi kognitif tentang manusia?


Kaum rasionalis, yang tidak setuju dengan pandangan Behaviorime yang melebih-lebihkan kekuatan pengaruh stimuli eksternal terhadap perilaku manusia, mempertanyakan apakah betul penginderaan kita (melalui pengalaman langsung) sanggup memberikan kebenaran? Bukankah mata kita mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah lidah kita mengatakan rasa teh manis itu pahit, sesaat setelah kita mengulum permen? Bukankah telinga kita baru mendengar detak jam pada saat kita memperhatikannya, padahal jam itu tetap berdetak pada saat kita tidak memperhatikannya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan betapa alat indera kita seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat. Jika demikian apakah bisa dipastikan respon yang akan dilakukan seseorang bila kepadanya dipaparkan stimulus eksternal tertentu?


Jiwalah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi, dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima, misalnya: (1) Seorang ibu yang tidur di samping bayinya tidak mendengar suara yang riuh rendah di sekitarnya, tetapi begitu si kecil bergerak, ibu bangun dengan segera seperti penyelam yang tergesa-gesa muncul di permukaan air laut untuk mengambil napas. (2) Tetapkanlah tujuannya pertambahan, dengan stimuli "dua dan tiga", maka akan menimbulkan jawaban "lima". Sekarang tetapkan tujuannya perkalian, dengan stimuli yang sama dan sensasi auditif yang sama, yakni "dua dan tiga" akan melahirkan respons "enam"… Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan.


Menurut para psikolog Gestalt dari Jerman seperti Meinong, Ehrenfels, Kohler, Weirtheimer dan Koffka, manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu pola stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yg bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Misalnya: Huruf "1" akan dianggap sebagai angka "satu" dalam rangkaian "1,2,3" tetapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian "k,l,m,n" atau huruf "i" dalam tulisan "Indonesia". Hal ini menunjukkan bahwa manusialah yang menentukan makna stimuli, bukan stimuli itu sendiri. Ada proposisi terkenal dalam ilmu komunikasi yaitu: "Words don't mean, but people mean"… Kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. Bunyi "wi" berarti: "kita" menurut orang Inggris, "siapa" menurut orang Belanda, "bagaimana" menurut Jerman, "duhai" menurut Arab, atau hanya sekedar panggilan sayang bagi seorang gadis yang bernama Siwi.


Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukanlah sekedar respons pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Dari Lewin terkenal rumus: B = f(P,E) artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara Person (diri orang itu) dengan Environment (lingkungan psikologisnya.


Sejak pertengahan tahun1950-an, berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (the person as consitency seeker). Di sini, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya, dan antara sistem kepercayaan dengan perilaku. Contoh paling jelas adalah teori disonansi kognitif dari Festinger. Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua kognisi (pengetahuan). Dalam keadaan disonan, orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagai cara. Disonansi membuat orang resah. Kognisi "saya tahu saya senang merokok", disonan dengan "saya tahu rokok merusak kesehatan". Dihadapkan dalam situasi disonan seperti itu, saya akan : (1) mengubah perilaku, berhenti merokok atau memutuskan "Saya merokok sedikit saja…", (2) mengubah kognisi tentang lingkungan, misalnya dengan mengatakan "Hanya perokok berat yang berbahaya…", (3) memperkuat salah satu kognisi yang yang disonan: "Ah, kawan-kawan saya pun banyak yang merokok…", atau (4) mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting, "Tidak jadi soal merokok merusak kesehatan. Toh saya ingin hidup cepat dan mati muda…" Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi disonansi, dan menghindari informasi yang menambah disonansi. Bila Anda terpaksa juga dikenai informasi yang disonan dengan keyakinan Anda, Anda akan menolak informasi itu, meragukan sumbermya, mencari informasi yang konsonan, atau mengubah sikap sama sekali.


Awal tahun 1970-an, teori disonansi dikritik, dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah informasi (the person as information processor). Dalam konsep ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi menjadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi. Contoh perpektif ini adalah teori atribusi. Teori atribusi menganggap manusia sebagai ilmuwan yang naif (naive scientist), yang memahami dunia dengan metode ilmiah elementer.


Kenyataan menunjukkan bahwa manusia tidaklah serasional dugaan di atas. Seringkali malah penilaian orang didasarkan pada informasi yang tidak lengkap dan kurang begitu rasional. Penilaian didasarkan pada data yang kurang lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh prakonsepsi. Manusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menetapkan keputusan (cognitive heuristic / dalil-dalil kognitif). Sebagai contoh, ada orang tua yang segera gembira ketika anaknya berpacaran dengan mahasiswa ITB karena berpegang pada "cognitive heuristics" bahwa mahasiswa ITB mempunyai masa depan yang gemilang (tanpa memperhitungkan bahwa pacar anaknya adalah mahasiswa seni rupa yang meragukan masa depannya). Dari sinilah muncul konsepsi "manusia sebagai miskin kognitif (the person as cognitive miser)".



Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah telah memasukkan kembali "jiwa" manusia yang sudah dicabut oleh behaviorisme. Manusia dalam pandangan psikologi kognitif bukanlah makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan, melainkan makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens).


Semoga bermanfaat



Sumber:

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»

Selasa, 01 September 2009

Tahap-tahap dalam Hubungan Interpersonal

Semua hubungan interpersonal pastilah berakhir, apapun penyebabnya. Betapa pun Anda berusaha mempertahankannya, toh kematian tak mungkin dapat dihindari. Tak ada yang abadi di dunia ini. Demikian pula hubungan interpersonal, ada perjumpaan pastilah ada perpisahan. Namun bila kita telaah lebih jauh masalah ini, ternyata tidak sesederhana hitam dan putih, berjumpa dan berpisah. Hubungan interpersonal mempunyai tahapan-tahapan spesifik dari perkenalan hingga terjadinya perpisahan.


Ketika Anda berjumpa dengan seseorang, sadarkah Anda bahwa Anda telah berubah menjadi bukan diri Anda yang biasanya? Anda berubah karena pertemuan Anda dengan orang itu. Sebaliknya, orang itupun berubah karena kehadiran Anda. Baik Anda maupun orang itu, disadari atau tidak, memainkan peranan tertentu. Selanjutnya perilaku Anda menjadi pengalaman dia, dan perilaku dia menjadi pengalaman Anda, sehingga dapat dikatakan bahwa Anda dan orang itu berbagi pengalaman. Bila pengalaman itu menyenangkan, bila permainan peran berlangsung seperti yang diharapkan masing-masing pihak, bila terjadi hubungan komplementer, maka hubungan itu akan dilanjutkan, dipertahankan, dan diperkokoh. Sebaliknya, bila hubungan Anda dan orang itu hanya menimbulkan kepedihan, bila Anda tidak tahu bagaimana Anda harus bertindak di hadapan orang itu, bila hubungan Anda dan orang itu bersilang (misalnya: orang itu berperan sebagai 'orang dewasa', sedang Anda melihatnya sebagai 'orang tua pada anaknya'), Anda akan mengakhiri hubungan interpersonal dengannya.


Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss (1996) dalam bukunya 'Human Communication' menuliskan analisis Knapp (1984) mengenai siklus hubungan interpersonal yang terdiri dari 10 tahapan, 5 tahap pertama merupakan tahap menuju kebersamaan (coming together) dan 5 tahap berikutnya menuju perpisahan (coming apart). Knapp menganggap hubungan manusia bersifat sekuensial, suatu tahap mengikuti tahap selanjutnya dengan sedikit kesempatan untuk melompat-lompat. Namun harus diingat bahwa perpindahan tahap itu dapat maju atau mundur. Banyak hubungan berhenti pada suatu tahap tertentu (misalnya tahap penjajagan, penggiatan, atau pengikatan), dan tidak berlangsung lebih jauh lagi.


Secara singkat siklus hubungan menurut Knapp saya coba resume-kan di bawah ini.


Tahap Memulai (Initiating) merupakan usaha-usaha yang sangat awal yang kita lakukan dalam percakapan dengan seseorang yang baru kita kenal. Tujuannya adalah untuk mengadakan kontak dan menyatakan minat. Biasanya komunikasi dilakukan dengan hati-hati dan konvensional. Contoh:
"Hai, apa kabar?"
"Baik, bagaimana dengan Anda?"


Tahap Penjajagan (Experimenting) adalah fase di mana kita mencoba topik-topik percakapan untuk mengenal satu sama lain. Biasanya kita banyak mengajukan pertanyaan dan berbasa-basi. Tujuan komunkasi di sini adalah untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan di antara kedua belah pihak dengan cara-cara yang aman. Hubungan akan lebih menyenangkan jika dalam tahap ini berhasil dibangun kepentingan-kepentingan yang sama. Suka atau tidak suka, kebanyakan hubungan kita mungkin tidak berlangsung lebih jauh dari tahap ini. Contoh:
"Oh, jadi Anda senang main ski... Saya juga."
"Benarkah? Bagus. Di mana Anda biasanya main ski?"


Penggiatan (Intesifying) menandai awal keintiman, berbagi informasi pribadi, dan awal informalitas yang lebih besar. Perubahan terjadi dalam perilaku komunkasi verbal maupun nonverbal. Secara verbal, derajat keterbukaan dalam membuka diri lebih besar, misalnya: "Kedua orang tuaku bercerai..." atau "Aku jatuh hati padamu...", dsb. Perubahan komunikasi nonverbal menjadi lebih intim terlihat dari kedekatan fisik, tangan yang berpegangan, kontak mata yang lebih sering , dsb. Contoh percakapan:
"Aku...aku kira aku jatuh cinta padamu."
"Aku... aku juga."


Pengintegrasian (integrating) terjadi bila dua orang mulai menganggap diri mereka sebagai pasangan. Keduanya secara aktif memupuk semua minat, sikap dan kualitas yang tampaknya membuat mereka unik sebagai pasangan. Mereka mungkin juga melakukan hal itu dengan cara simbolik misal bertukar cincin, menyebut suatu lagu sebagai 'lagu kita', dst. Contoh percakapan:
"Aku merasa menjadi bagian dari dirimu..."
"Yah, kita seperti sudah bersatu. Apa yang terjadi padamu terjadi juga padaku."

Pengikatan (Bounding) adalah tahap yang lebih formal atau ritualistik, bisa berbentuk pertunangan atau perkawinan, namun "berhubungan tetap" juga merupakan suatu bentuk pengikatan. Pasangan tsb sepakat menerima seperangkat aturan atau norma yang mengatur hubungan mereka, dan mereka kini lebih sulit untuk berpisah. Contoh percakapan:
"Aku ingin selalu bersamamu."
"Mari kita menikah saja."


Hubungan manusia mungkin stabil dalam tahap-tahap perkembangan sebelum pengikatan, namun hubungan yang mencapai fase paling akrab pun bisa juga merosot lagi. Hanya saja pada fase paling akrab, perpisahan tidak terjadi begitu saja, melainkan berproses, yang ditandai dengan semakin berkurangnya kontak dan keintiman. Lima tahap berikutnya menggambarkan kemerosotan yang dapat terjadi dalam hubungan yang telah mencapai tahap pengikatan.


Pembedaan (Differentiating) terjadi bila dua orang menetapkan bahwa mungkin hubungan mereka terlalu membatasi. Sekarang mereka mulai memusatkan perhatian pada perbedaan-perbedaan daripada kesamaan-kesamaan. Mereka ingin mengerjakan urusan mereka sendiri-sendiri, dan mulai menekankan individualitas. Fase ini ditandai dengan makin seringnya terjadi perselisihan di antara mereka. Contoh:
"Aku tidak suka menghadiri keramaian-keramaian besar."
"Kadang-kadang aku tidak memahamimu. Ini satu perbedaan di antara kita."


Pembatasan (Circumscribing) adalah suatu tahap yang menunjukkan bahwa pasangan mulai mengurangi frekuensi dan keintiman komunikasi mereka. Topik-topik tertentu yang cenderung menimbulkan suasana panas berusaha dihindari. Sikap mereka menjadi lebih formal seolah-olah mereka tidak mengenal satu sama lain secara baik. Contoh:
"Apakah tidak apa-apa kalau aku berjalan-jalan sekarang?"
"Aku tak peduli. Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan."


Stagnasi (Stagnating) menunjukkan kemerosotan hubungan yang semakin jauh sehingga mereka mencoba untuk bertahan dengan alasan-alasan keagamaan atau keuangan, atau demi kebaikan anak-anak, atau faktor lain yang tidak berhubungan dengan daya tarik terhadap pasangannya. Komunikasi verbal dan nonverbal semakin menyerupai komunikasi antara orang-orang asing. Hubungan itu sendiri tak pernah dibicarakan lagi. Contoh:
"Apa yang akan kita bicarakan?"
"OK. Aku tahu apa yang akan kau katakan, dan kau tahu apa yang akan kukatakan."


Penghindaran (Avoiding) adalah suatu taktik untuk meminimalkan penderitaan atas pengalaman hubungan yang merosot sama sekali. Perceraian fisik sering terjadi, atau paling tidak walau pun mereka masih tinggal bersama/berdekatan mereka mampu menjaga kontak yang minimum. Contoh:
"Aku sangat sibuk, aku tidak tahu kapan aku bisa bertemu denganmu."
"Bila aku tak bisa menerimamu saat kau mencoba menghubungiku, harap maklum."


Pemutusan (Terminating) adalah tahap final dalam suatu hubungan. Menurut Knapp, pemutusan hubungan bisa terjadi setelah suatu percakapan singkat maupun setelah tumbuhnya keintiman sepanjang hidup. Umumnya, semakin lama dan semakin penting hubungan itu, semakin menyakitkan perpisahan yang terjadi. Contoh:
"Aku akan pergi...kau tak perlu mencoba menghubungiku lagi."
"Jangan khawatir...tidak akan pernah."


Menurut Jalaluddin Rakhmat (1998), penulis buku 'Psikologi Komunikasi', hubungan interpersonal berlangsung melewati 3 tahap, yaitu: pembentukan hubungan, peneguhan hubungan, dan pemutusan hubungan.


1. Pembentukan Hubungan Interpersonal


Tahap ini sering disebut sebagai tahap perkenalan. Perkenalan adalah proses komunikasi di mana individu mengirimkan (secara sadar) atau menyampaikan (kadang-kadang tidak sengaja) informasi tentang struktur dan isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda pada bermacam-macam tahap perkembangan persahabatan. Initial contact phase (fase kontak awal) ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk "menangkap" informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap, dan nilai pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Bila mereka merasa berbeda, mereka akan berusaha menyembunyikan dirinya, dan hubungan interpersonal mungkin diakhiri. Pada tahap 'saling menyelidik' ini, informasi yang dicari dan disampaikan umumnya berkisar mengenai data demografis, seperti: usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga, dsb.


Dengan data demografis, orang berusaha membentuk kesan tentang diri orang lain.  Katakanlah, Anda lahir di Tapanuli dari keluarga Batak Karo. Saya segera menangkap identitas, sikap, dan nilai-nilai yang Anda anut. Dari informasi itu, saya bisa menduga Anda beragama Kristen. Informasi lebih lanjut tentang pendidikan dan pekerjaan Anda akan mempengaruhi penilaian saya terhadap diri Anda.


Menurut Charles R. Burger (1973), informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori, yaitu: (1) informasi demografis; (2) sikap dan pendapat: tentang orang atau obyek; (3) rencana yang akan datang; (4) kepribadian, misalnya: "Bagaiman Anda menghadapi kenaikan harga sekarang ini?"; (5) perilaku pada masa lalu, misalnya: "Mengapa Anda sekolah di SMP Katholik?"; (6) orang lain, misalnya:"Apakah Anda kenal dengan Suvlika?"; (7) hobi dan minat.


Informasi-informasi itu tidak selalu kita peroleh melalui komunikasi verbal. Kita juga membentuk kesan dari petunjuk proksemik, kinesik, paralinguistik, dan artifaktual. Cara Anda mempertahankan jarak, gerak tangan, lirikan mata Anda, intonasi suara, dan pakaian yang Anda kenakan akan membentuk kesan pertama. Kesan pertama ini amat menentukan apakah hubungan interpersonal harus diakhiri atau diperteguh.Menurut William Brooks dan Phlip Emmert, kesan pertama sangat menentukan, karena itu hal-hal yang pertama kelihatan (hal-hal yang menentukan kesan pertama) menjadi sangat penting. Para ahli psikologi sosial menemukan bahwa penampilan fisik, apa yang diucapkan pertama, apa yang dilakukan pertama mejadi penentu yang penting terhadap pembentukan citra pertama seseorang.



2. Peneguhan Hubungan Interpersonal


Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Ada 4 faktor penting yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan dan memperteguh hubungan interpersonal, yaitu: keakraban, kontrol, respon yang tepat, dan nada emosional yang tepat.


Keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila kedua belah pihak sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan. Jika dua orang melakukan tingkat keakraban yang berbeda, akan terjadi ketidak-serasian dan kejanggalan. Jika A menggunakan teknik sosial seperti berdiri lebih dekat, melihat lebih sering, dan tersenyum lebih banyak daripada B, maka B akan merasa A bersifat agresif dan terlalu akrab, sedangkan A akan merasa B bersikap acuh tak acuh dan sombong.


KontrolIni adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa dan bilamana. Jika dua orang mempunyai pendapat yang berbeda sebelum mengambil kesimpulan, siapakah yang harus berbicara lebih banyak, siapakah yang menentukan, siapakah yang dominan. Konflik terjadi umumnya bila masing-masing pihak ingin berkuasa, atau tidak ada yang mau mengalah.


Ketepatan responsArtinya respons A harus diikuti oleh respons B yang sesuai. Dalam percakapan misalnya, pertanyaan harus disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keterangan dengan penjelasan. Bayangkan apa jadinya jika pertanyaan dibalas dengan pertanyaan, atau lelucon dibalas dengan nasehat. Respons ini bukan saja berkenaan dengan pesan-pesan verbal, tetapi juga pesan-pesan nonverbal. Jika pembicaraan saya yang serius dijawab dengan main-main, ungkapan wajah yang bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang menunjukkan sikap tidak percaya, hubungan interpersonal akan mengalami keretakan. Ini berarti Anda memberikan respons yang tidak tepat.


Keserasian suasana emosional ketika berlangsungnya komunikasi adalah faktor berikutnya yang diperlukan dalam memelihara hubungan interpersonal. Walaupun mungkin saja terjadi dua orang berinteraksi dengan suasana emosional yang berbeda, tetapi interaksi itu tidak akan stabil, besar kemungkinan salah satu pihak mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi. Bila saya turut sedih ketika Anda mengungkapkan penderitaan Anda, saya menyamakan suasana emosional saya dengan suasana emosional Anda. Anda akan menganggap saya "dingin" bila saya menanggapi penderitaan Anda dengan perasaan yang netral.



3. Pemutusan Hubungan Interpersonal


Walaupun kita dapat menyimpulkan bahwa jika empat faktor di atas tidak ada, hubungan interpersonal akan diakhiri, sesungguhnya penelitian tentang pemutusan hubungan masih jarang sekali dilakukan. Namun demikian, kita dapat mengambil analisis R.D. Nye (1973) dalam bukunya "Conflict among Humans". Nye menyebutkan 5 sumber konflik, yaitu:

KompetisiSalah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorbankan orang lain, misalnya menunjukkan kelebihan dalam bidang tertentu dengan merendahkan orang lain.

DominasiSalah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang itu merasakan hak-haknya dilanggar.

KegagalanMasing-masing berusaha menyalahkan yang lain ketika tujuan bersama tidak tercapai.

ProvokasiSalah satu pihak terus-menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan yang lain.

Perbedaan nilaiKedua pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai yang mereka anut.


Semoga bermanfaat.



Sumber:

@ Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss (1996): Human Commnication: Prinsip-prinsip Dasar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

@ Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»

Jumat, 31 Juli 2009

Konsep Manusia dalam Behaviorisme (Kenalilah Dirimu Bag. 2)

"Berikan padaku selusin anak-anak yang sehat, tidak cacat, dan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku sanggup mengambil salah satu dari mereka secara acak dan mendidiknya menjadi spesialis apa saja yang aku kehendaki - dokter, lawyer, artis, pedagang, bahkan pengemis atau pencuri sekali pun - tanpa memperhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan maupun ras orang tuanya."


Sesumbar itu ditulis oleh Watson (1934) dalam bukunya Psychological Care of Infant and Child. Watson adalah ahli psikologi Amerika yang sering dianggap sebagai tokoh utama aliran Behaviorisme. Aliran ini muncul sebagai reaksi perlawanan terhadap aliran Introspeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga Psikoanalisis (yang berbicara tentang struktur jiwa dan alam bawah sadar yang tidak nampak). Behaviorisme ingin menganalisa perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Sejak kemunculan aliran Behaviorisme, psikologi menjadi ilmu nyata yang bisa dibuktikan melalui eksperimen-eksperimen. Menarik sekali menelusuri eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Behaviorisme, termasuk pengalaman Watson dalam membuktikan ucapan sesumbarnya di atas.



Kaum Behavioris berpendirian bahwa (1) organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, (2) perilaku adalah hasil pengalaman, dan (3)perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Asumsi ini diperkuat dengan sumbangan Biologi abad 19, bahwa manusia hanyalah kelanjutan dari organisme yang lebih rendah (mungkin Anda masih ingat dengan teori Darwin yang kontroversial itu). Karenanya, kita dapat memahami manusia dengan meneliti perilaku organisme yang bukan manusia. Misalnya, kita dapat merumuskan teori belajar dengan mengamati bagaimana seekor binatang belajar.

Asumsi bahwa pengalamanlah yang paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apapun dengan menciptakan lingkungan dan pengalaman yang relevan. Lihat kembali ucapan sombong Watson di awal halaman ini. Ucapan Watson bukanlah omong kosong belaka. Ucapan ini dibuktikan oleh Watson dengan satu eksperimen bersama Rosalie Rayner di John Hopkins. Tujuan eksperimen adalah menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Subyek eksperimennya adalah Albert B., bayi sehat berusia 11 bulan yang tinggal di rumah perawatan anak-anak invalid karena ibunya bekerja sebagai perawat di situ. Albert menyayangi tikus putih. Sekarang rasa takut ingin diciptakan. Ketika Albert menyentuh tikus itu, lempengan baja dipukul keras-keras tepat di belakang kepalanya hingga menimbulkan suara mengejutkan. Albert tersentak, tersungkur dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Proses ini diulangi, kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras. Akhirnya, kalau tikus itu muncul (walaupun tidak ada suara keras) Albert mulai menangis, membalik, dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut pada tikus, tapi ia juga takut pada kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin, tetapi Albert dan ibunya telah pergi meninggalkan rumah perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui.

Eksperimen Albert bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli netral atau conditioned stimulus (tikus putih) dengan stimuli tak terkondisikan atau unconditioned stimulus (suara keras akibat pukulan lempeng baja) yang melahirkan perilaku tertentu atau unconditioned response (ketakutan). Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan lempengan baja. Pelaziman klasik menjelaskan bahwa setiap kali anak membaca, orang tuanya mengambil buku dengan paksa, anak akan benci pada buku. Bila munculnya Anda selalu berbarengan dengan datangnya malapetaka, kehadiran Anda kemudian akan mendebarkan orang.


Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Kali ini subyeknya adalah burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak yang bisa diamati. Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil kecil pada dinding kotak. Makanan keluar dan merpatipun bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. Sejenak kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol, dan makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati ingin makan, ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu pula. Bila setiap anak menyebut kata yang sopan, segera kita memujinya, anak itu kelak akan mencintai kata-kata sopan dalam komunikasinya. Bila pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik, kita menghargainya dengan memberi sebuah buku yang bagus, mahasiswa tersebut akan meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement).


Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan teori pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Misalnya, mengapa anak yang berusia 2 tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya? Kaum behavioris tradisional menjelaskan kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambang atau obyek yang punya makna (pelaziman klasik).


Menurut Skinner, mula-mula anak mengucapkan bunyi-bunyi yang tak bermakna. Kemudian orang tua secara selektif meneguhkan ucapan yang bermakna (misalnya "mamah"). Dengan cara ini berangsur-angsur terbentuk bahasa anak yang memungkinkannya bicara. Menurut Bandura, dengan cara seperti ini, penguasaan bahasa akan terbentuk bertahun-tahun, dan cara ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak-anak dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Bandura berpendapat, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar, adalah penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar, melainkan faktor penting dalam melakukan suatu tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Tapi jika ia dihukum (dicela), ia akan menahan diri untuk bicara, walaupun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukannya ditentukan oleh peniruan.


Namun demikian psikologi sangatlah komplek. Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme dapat menjelaskan seluruh perilaku manusia. Behaviorisme bungkam ketika melihat perilaku manusia yang tidak dipengaruhi oleh ganjaran, hukuman, atau peniruan. Orang-orang yang menjelajahi Kutub Utara yang dingin, pemuda Jepang yang menempuh Samudera Pasifik di atas rakit, anak-anak muda 'Syi'ah yang menabrakkan truk berisi muatan dinamit, atau bom bunuh diri yang baru-baru ini terjadi di Jakarta, semuanya mengungkapkan perilaku "self motivated". Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Pikiran dan perasaan orang tidaklah menarik bagi kaum behavioris.


Dalam perkembangan selanjutnya, paradigma baru menyerang Psikologi Behavioristik, dan menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal dengan sebutan Psikologi Kognitif.


Semoga bermanfaat....




Sumber:

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.


Readmore »»

Selasa, 14 Juli 2009

Konsep Manusia dalam Psikoanalisis (Kenalilah Dirimu bag. 1)

Gnothi Seauthon…! Kenalilah dirimu…! Motto ini telah mengusik para filusuf untuk mencoba memahami dirinya. Konon, motto inilah yang mendorong berkembangnya ilmu filsafat di Yunani. Dan ternyata hingga saat ini pun masih relevan buat kita. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia telah melahirkan banyak teori-teori tentang manusia, tetapi empat pendekatan yang paling dominan dan berpengaruh adalah : Psikoanalisis, Behaviorisme, Psikologi Kognitif, dan Psikologi Humanistis.

Psikoanalisis
melukiskan manusia sebagai makhlik yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).
Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh stimuli lingkungan (Homo Mechanicus).
Psikologi Kognitif
melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens).
Psikologi Humanistis
menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens).

Masing-masing pendekatan dalam teori di atas memandang manusia dengan cara yang berlainan. Tidak bisa dikatakan pendekatan mana yang paling tepat untuk memahami manusia secara umum. Karakteristik manusia tampaknya merupakan sintesis dari keempat pendekatan itu. Sekali waktu ia menjadi manusia yang secara mambabi buta menuruti kemauannya (Homo Volens), pada waktu yang lain ia menjadi makhluk yang berpikir logis (Homo Sapiens). Pada suatu saat ia menyerah bulat-bulat pada proses pelaziman (conditioning) yang diterimanya dari lingkungan (Homo Mechanicus), pada saat lain ia berusaha mewarnai lingkungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dimilikinya (Homo Ludens). Karena itu, lebih bijak rasanya jika kita memandang manusia, diri kita dan orang lain, sebagai makhluk yang dinamis, bisa berubah-ubah secara fleksibel bergantung pada konteks, situasi dan kondisinya. Sekarang, mari kita lihat pandangan Psikoanalisis tentang konsep manusia.

Psikoanalisis


Dari seluruh aliran psikologi, hanya psikoanalisislah yang secara tegas memperhatikan struktur jiwa manusia. Pendiri aliran psikoanalisis adalah Sigmund Freud, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para murid dan pengikutnya seperti Carl Jung, Adler, Abraham, Horney, Bion, dll. Freud memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagiannya yang terpisah.


Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, pusat insting (hawa nafsu). Dua insting dominan dalam Id adalah: (1) Libido, yaitu insting reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif. (2) Thanatos, yaitu insting destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga insting kehidupan (eros), yang dalam konsep Freud bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan terhadap Tuhan, dan cinta diri (narcisism). Yang kedua merupakan insting kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (Pleasure Principle), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu terhadap kenyataan. Id adalah tabiat hewani pada manusia.


Walaupun Id mampu melahirkan keinginan, ia tidak mampu memuaskan keinginannya. Subsistem yang kedua, yaitu Ego, berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Egolah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal). Ego bergerak berdasarkan prinsip realitas (Reality Principle). Ketika Id mendesak supaya Anda membalas ejekan dengan ejekan lagi, ego memperingatkan Anda bahwa lawan Anda adalah "bos" yang dapat memecat Anda. Kalau Anda mengikuti desakan Id, Anda konyol. Anda pun baru ingat bahwa tidak baik melawan atasan.


Unsur moral dalam pertimbangan terakhir disebut Freud sebagai Superego. Superego adalah polisi kepribadian, mewakili nilai-nilai yang ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak sesuai dengan norma ke alam bawah sadar. Baik Id maupun Superego berada di alam bawah sadar manusia. Ego berada di tengah, antara memenuhi desakan Id dan mentaati peraturan Superego. Untuk mengatasi ketegangan akibat konflik antara Id dan Superego, ia dapat menyerah pada tuntutan Id, tetapi berarti dihukum Superego dengan perasaan bersalah. Untuk menghindari ketegangan, konflik atau frustrasi, Ego secara tak sadar lalu menggunakan meknisme pertahanan ego, dengan mendistorsi realitas. Secara singkat dalam Psikoanalisis, perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (Ego), dan komponen sosial (Superego); atau unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).


Semoga uraian singkat di atas bermanfaat.



Sumber:

Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Readmore »»

Kamis, 25 Juni 2009

Okupasiterapi

"Men sana in corpore sano". Siapa yang tidak kenal dengan istilah ini? Perkataan bijak yang artinya "di dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat", hingga saat ini masih diyakini kebenarannya meski sebagian kecil orang mulai ada yang menggugat kebenarannya dengan alasan masing-masing. Prinsip 'di dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat' atau lebih tepatnya 'adanya hubungan erat antara tubuh dan jiwa', menjadi dasar dikembangkannya okupasiterapi, salah satu jenis terapi yang diberikan di RSJ seluruh dunia untuk membantu proses rehabilitasi mental pasien gangguan jiwa .

Sejarah Okupasiterapi

Socrates dan Plato (400 SM), adalah ahli-ahli filsafat yang pertama-tama meyakini adanya hubungan yang erat antara tubuh dengan jiwa. Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan diri dengan selalu bekerja secara sadar dan tidak bermalas-malasan. Pekerjaan sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia. Kemudian Hypocrates, seorang tabib di jamannya, juga selalu menganjurkan pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobatan pasiennya.

Pada tahun 1786, Philipi Pinel memperkenalkan terapi kerja di suatu rumah sakit jiwa di Paris. Dia mengatakan bahwa dengan okupasi/pekerjaan pasien gangguan jiwa dapat dikembangkan ke arah hidup yang normal dan dapat ditingkatkan minatnya. Juga sekaligus untuk memelihara dan mempraktekkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga tetap produktif.
Pada tahun 1892, Adolf Meyer dari Amerika melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan baik, yaitu dengan mengerjakan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar terapi pasien neuro-psikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater dan isterinya adalah seorang pekerja sosial. Keduanya mulai menyusun suatu dasar yang sistematik tentang penggunaan aktivitas sebagai program terapi pasien jiwa.

Di Indonesia terapi kerja telah dikenal sejak tahun 1916 di beberapa RSJ. Pada mulanya tujuannya adalah untuk mengurangi biaya eksploitasi rumah sakit dengan mempekerjakan pasien-pasien. Jadi selain untuk memperbaiki keadaan fisik dan mental pasien juga untuk berproduksi. Efek lainnya, dengan mempekerjakan pasien di suatu area yang luas akan menghindarkan pasien saling mengganggu. Dalam perkembangan selanjutnya terapi kerja di RSJ menjadi suatu kegiatan yang otomatis diberikan kepada pasien yang sudah dianggap mampu tanpa mempertimbangkan pekerjaan apa yang cocok dan sesuai dalam rangka terapi. Tolok ukur keberhasilan seorang pasien dalam terapi kerja saat itu adalah berapa banyak suatu barang yang dapat dihasilkannya. Syukurlah beberapa tahun terakhir ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan sejak dikembangkannya bangsal MPKP (Model Praktek Keperawatan Profesional) di rumah sakit-rumah sakit jiwa yang ada di Indonesia. Saat ini terapi okupasi lebih difokuskan pada manfaatnya bagi proses rehabilitasi dan peningkatan status kesehatan mental pasien. Tolok ukur yang dipakai bukan lagi berapa banyak hasil produksinya tapi berapa banyak partisipasi pasien dalam mengerjakan aktivitas dan bagaimana perkembangan hubungannya dengan pasien lain, dengan terapis, dll.


Pengertian Okupasiterapi

Menurut World Federation of Occcupational Therapy, okupasiterapi adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud mempermudah belajar fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Okupasiterapi juga dimaksudkan untuk memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan) dan memelihara atau meningkatkan status kesehatan. Dalam prakteknya okupasiterapi lebih dititikberatkan pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dengan kemampuan tsb dia mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.

Okupasiterapi menggunakan okupasi (pekerjaan/kegiatan) sebagai media. Kegiatan ditetapkan berdasarkan tujuan terapi itu sendiri, jadi bukan hanya sekedar menyibukkkan seseorang atau pun meningkatkan ketrampilan seseorang dalam suatu pekerjaan. Okupasiterapi berbeda dengan 'terapi kerja' maupun 'latihan kerja' dalam hal tujuan terapeutik pada okupasiterapi yang berusaha dicapai melalui diskusi setelah menyelesaikan setiap kegiatan, baik olahraga, rekreasi, kegiatan sehari-hari, dll yang dilakukan secara kelompok atau pun individual. Tujuan akhir dari okupasiterapi adalah kemandirian pasien dalam merawat diri, melakukan aktivitas sehari-hari, menyelesaikan tugas dan beradaptasi terhadap lingkungan dalam maupun luar dirinya.


Peranan Aktivitas dalam Okupasiterapi

Tidak ada seorangpun yang mampu melihat apa yang terjadi dalam diri kita, yang kita pikirkan, kita rasakan, kita inginkan, kita ingat, dan semua dinamika internal dalam diri kita yang sering kita sebut sebagai jiwa. Orang lain hanya dapat mengetahuinya dari aktivitas kita dan hasil perbuatan kita. Karena itu aktivitas dinilai sebagai jembatan antara lingkungan internal (jiwa) dan lingkungan eksternal (dunia luar). Melalui aktivitas seseorang dihubungkan dengan lingkungan sehingga ia dapat mempelajarinya, mencoba ketrampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, dan juga mencapai tujuan hidup. Potensi inilah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan okupasiterapi, baik bagi penderita fisik maupun mental.

Aktivitas dalam okupasiterapi digunakan sebagai media untuk evaluasi, diagnosis, terapi, maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien selama mengerjakan suatu aktivitas dan dengan menilai hasil pekerjaannya dapat ditentukan arah terapi dan rehabilitasi selanjutnya dari pasien tsb.

Penting untuk diingat bahwa aktivitas dalam okupasiterapi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penyelesaian suatu aktivitas sangat penting untuk dilakukan karena dalam kesempatan tsb terapis dapat mengarahkan pasien. Melalui sessi diskusi itulah pasien belajar mengenal dan mengatasi persoalannya.

Melalui aktivitas pasien diharapkan akan dapat berkomunikasi lebih baik untuk mengekspresikan dirinya. Melalui aktivitas kemampuan pasien dapat diketahui oleh terapis maupun pasien itu sendiri. Dengan menggunakan alat-alat atau bahan-bahan dalam melakukan suatu aktivitas pasien didekatkan pada kenyataan, terutama dalam kemampuan dan kelemahannya.

Mengerjakan suatu aktivitas dalam suatu kelompok akan merangsang terjadinya interaksi di antara anggota kelompok yang berguna dalam meningkatkan kemampuan sosialisasi, dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal keefisiensiannya berhubungan dengan orang lain.

Berbagai hal mengenai aktivitas yang perlu dipertimbangkan sebelum dipilih untuk digunakan sebagai media terapi adalah:

1. Jenis

Jenis aktivitas dalam okupasiterapi adalah :
• Latihan gerak badan
• Olahraga
• Permainan
• Kerajinan tangan
• Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi
• Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari)
• Praktik pre-vokasional
• Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain)
• Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun dan lain-lain)
• Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televise, radio atau keadaan lingkungan).
• Dan lain- lain

2. Karakteristik aktivitas

Aktivitas dalam okupasiterapi adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasaan emosional maupun fisik.
Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan daladm okupasiterapi harus mempunyai karakteristi sebagai berikut :
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi bukan hanya sekedar menyibukan pasien
b. Mempunyai arti tertentu bagi pasien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya dengan pasien.
c. Pasien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melibatkan pasien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus dapat meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.
f. Harus dapat member dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan dengan kemampauan pasien.

3. Analisa aktivitas

Untuk dapat mengenal karakteristik maupun potensi atau aktivitas dalam rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisa terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisa adalah sebagai berikut:
a. Jenis aktivitas
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi)
c. Bahan yang digunakan:
- Khusus atau tidak
- Karakteristik bahan: mudah ditekuk atau tidak, mudah dikontrol atau tidak, menimbulkan kekotoran atau tidak, licin atau tidak
- Rangsangan yang dapat ditimbulkan: taktil, pendengaran, pembauan, penglihatan, perabaan,  gerakan sendi, dan sebagainya
- Warna: macam-macamnya dan namanya, banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
• Banyaknya bagian
• Rumit atau sederhana
• Apakah membutuhkan pengulangan
• Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e. Persiapan pelaksanaan:
- Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
- Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
- Apakah bahan telah tersedia atau harus dicari terlebih dahulu
- Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
- Apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya: Konsentrasi? Ketangkasan? Rasa sosial diantara pasien? Kemampuan mengatasi masalah? Kemampuan bekerja sendiri? Toleransi terhadap frustrasi?Kemampuan mengikuti instruksi? Kemampuan membuat keputusan?
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya interaksi diantara mereka
h. Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.
i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan lai-lain
j. Apakah ada kontra indikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati- hati, karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya untuk pasien dengan paranoid sangat riskan memberikan benda tajam).
k. Yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.


Fungsi dan Tujuan Okupasiterapi

Okupasiterapi yang dilakukan pada pasien di RS mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa
• Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
• Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
• Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
• Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnose dan penetapan terapi lainnya.
2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot dan koordinasi gerakan.
3. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, berpakaian, belajar menggunakan fasilitas umum (telpon, televisi, dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain.
4. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di rumahnya, dan memberi saran penyederhanaan (simplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang masih ada.
6. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai langkah dalam pre-vocational training. Dari aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lain-lainnya dari si pasien dalam mengarahkannya ke pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.
7. Membantu penderita untuk menerima kenyataan dan menggunakan waktu selama masa rawat dengan berguna.
8. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.


Proses Okupasiterapi

Berikut ini serangkaian tindakan yang harus dilakukan dalam proses okupasiterapi oleh seorang terapis :

Pengumpulan data

Data bisa didapatkan dari status pasien maupun wawancara langsung dengan pasien.

Analisa data dan Identifikasi masalah

Dari data yang terkumpul ditarik suatu kesimpulan sementara tentang masalah atau kesulitan pasien. Bisa berupa masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.

Penetapan sasaran dan tujuan terapi

Berdasarkan masalah dan latar belakang pasien disusun daftar sasaran dan tujuan terapi sesuai dengan prioritas baik jangka pendek maupun panjang.

Pemilihan jenis aktivitas yang sesuai

Agar tujuan dapat tercapai, aktivitas harus dipilih yang sesuai dengan tujuan dan sasaran. Pasien dapat diikutsertakan dalam menentukan jenis aktivitas yang akan dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaannya. Selain itu harus diberitahu alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tsb sehingga dia sadar dan diharapkan akan berpartisipasi aktif dalam kegiatan.

Evaluasi

Evaluasi dilaksanakan scara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapi. Hal ini untuk menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Dari hasil evaluasi bisa diputuskan mengenai penyesuaian jenis aktivitas yang akan diberikan, termasuk bila terlihat tidak adanya kemajuan atau kurang efek terapinya bagi pasien.


TATA LAKSANA OKUPASITERAPI

Indikasi Okupasiterapi

1. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya
2. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan orang lain
3. Tingkah lau tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitive
4. Ketidak mampuan menginterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula
5. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang mengalami kemunduran
6. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas dari pada dengan percakapan
7. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara mempraktikannya dari pada dengan membayangkan
8. Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya
9. Dan sebagainya


Metode

Okupasiterapi dapat dilakukan baik secara indivisual, maupun berkelompok, tergantung dari keadaan pasien, tujuan terapi dan lain-lain.

a. Metode individual dilakukan untuk:
• Pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien
• Pasien yang belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelomppok bila dia dimasukan dalam kelompok tersebut
• Pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat mengevaluasi pasien lebih efektif


b. Metode kelompok dilakukan untuk:
- Pasien atas dasar seleksi dengan masalah yang sama atau hampir bersamaan.

- Bebrapa pasien sekaligus dalam melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu.

Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut.
Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakaukan, dan kemampuan terapis mengawasi.


Pelaksana

Untuk dapat dapat melaksanakan okupasiterapi dibutuhkan tenaga yang telah terlatih. Perawat maupun tenaga lainnya yang ada di RS bisa melaksanakan tindakan okupasiterapi setelah mengikuti latihan khusus atau penataran dalam bidang okupasiterapi.


Waktu Pelaksanaan

Okupasiterapi dilakukan antara 1 – 2 jam setiap session baik yang individu maupun kelompok setiap hari,dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianya tenaga dan fasilitas, dan sebagainya. Ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ½ - 1 jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1 – 1 ½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.


Terminasi

Keikutsertaan seorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat diakhiri dengan dasar penilaian sbb:
1. Pasien dinilai telah mampu mengatasi persoalannya.
2. Pasien dinilai tidak akan dapat berkembang lagi.
3. Pasien dinilai perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi.


Semoga bermanfaat.





Sumber:
Direktorat Kesehatan Jiwa DirJen YanMed Depkes RI (1988): Petunjuk Teknis Okupasiterapi Pasien Mental di Rumah Sakit Jiwa, Jakarta, Tidak dipublikasikan.
Readmore »»

Rabu, 10 Juni 2009

Pengendalian Marah Menurut Hadits

"Apabila salah seorang di antaramu marah maka katakanlah : 'Aku berlindung kepada Allah', maka marahnya akan menjadi reda." (HR. Abi Dunya)

"Apabila salah seorang di antara kamu marah maka diamlah." (HR.Achmad)

"Marah itu dari setan, maka apabila salah seorang di antaramu marah dalam keadaan berdiri maka duduklah, dan apabila dalam keadaan duduk maka berbaringlah." (HR. Asy-Syaikhany)

"Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan terbuat dari api. Dan api hanya bisa dipadamkan oleh air. Oleh karena itu, apabila seseorang di antaramu marah maka berwudhulah atau mandilah." (HR. Ibnu Asakir, Maukuf) Readmore »»

Selasa, 09 Juni 2009

Managemen Perilaku Kekerasan

Penanganan pasien dengan perilaku kekerasan di RS terbagi dalam 2 tahapan, yaitu managemen krisis dan managemen perilaku kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan pasien dalam situasi krisis saat terjadi perilaku kekerasan (amuk). Lebih lanjut tentang hal ini silakan baca 'Perilaku Kekerasan (Amuk) Pada Pasien Jiwa', saya tidak akan membahasnya di halaman posting ini. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan lanjut setelah situasi krisis reda di mana pasien sudah lebih mampu bersikap tenang, kooperatif, dan mampu mengendalikan luapan emosinya meski masih beresiko untuk melakukan tindak kekerasan. Tentu penanganannya berbeda karena situasi dan kondisi pasien berbeda. Sasaran intervensi dan tujuannya pun berbeda pula.


Bila pada managemen krisis tujuan intervensi bersifat jangka pendek, yaitu menenangkan/meredakan ketegangan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan akibat potensi perilakunya yang tidak terkontrol… maka pada managemen perilaku kekerasan tujuannya lebih bersifat jangka panjang, yaitu pasien mampu mengontrol perilaku amuknya yang maladaptif, serta mampu mengekspresikan perasaan marahnya secara tepat dan sehat. Hal ini bisa dicapai melalui pendidikan dan latihan. Banyak orang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaan marahnya secara tepat dan sehat karena tidak pernah mempelajarinya dan hanya mengikuti naluri amarahnya sehingga yang muncul kemudian adalah perilaku maladaptif. Tentu hal ini berbahaya bagi dirinya sendiri , orang lain maupun lingkungan.


Selanjutnya bila pada managemen krisis sasaran intervensi difokuskan secara khusus pada pasien… maka pada managemen perilaku kekerasan sasarannya adalah pasien dan keluarga. Bagaimanapun juga keluarga menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikkan karena tidak jarang sumber konflik berasal dari keluarga, selain kenyataan bahwa keluarga merupakan support system yang paling bermakna bagi proses pembelajaran dan kesembuhan pasien. Pada akhirnya pasien akan kembali ke keluarga setelah selesai menjalani program perawatan dan pengobatan di RS. Karenanya keluarga juga harus disiapkan untuk menerima dan mampu merawat pasien dengan perilaku kekerasan di rumah. Bila pasien memiliki kemampuan mengungkapkan perasaan marah secara tepat dan sehat, kemudian keluarga memahami dan memfasilitasi usaha pasien untuk mengendalikan emosinya, maka potensi perilaku kekerasan pada pasien dapat diminimalisir.


Managemen perilaku kekerasan dengan pasien sebagai sasaran mencakup 3 area tindakan, yaitu:

  • Meningkatkan kesadaran diri pasien mengenai penyebab perilaku kekerasannya, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dialaminya, bentuk perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya, serta akibat perilaku kekerasan pasien. Ini dilakukan untuk menumbuhkan motivasi pada diri pasien agar mau mempelajari cara-cara mengontrol perilaku kekerasan.
  • Meningkatkan kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan melalui pendidikan dan latihan. Pada tahap ini pasien diajari dan dilatih sampai ia betul-betul mampu mempraktekkan cara-cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik (relaksasi, kegiatan dan olahraga), secara verbal (asertif, sharing/cerita pada orang lain), secara spiritual (berdoa, sembahyang), dan secara farmakologis (minum obat). Selanjutnya pasien didorong untuk memilih cara yang sesuai bagi dirinya dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian.
  • Penguatan, pemeliharaan dan persiapan pulang. Pada tahap ini petugas bersama pasien mengevaluasi pelaksanaan jadwal kegiatan di RS untuk menentukan strategi penguatan bila diperlukan, membuat rencana jadwal kegiatan di rumah, dan mendiskusikan obat-obat yang diminum pasien (jenis, dosis, waktu minum, manfaat dan efek sampingnya).


Managemen perilaku kekerasan dengan keluarga sebagai sasaran mencakup 2 area tindakan, yaitu:

  1. Pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan di rumah. Pada tahap ini didiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien, kemudian petugas memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian, tanda dan gejala serta proses terjadinya perilaku kekerasan, dan juga cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Keluarga dapat dilibatkan secara langsung dalam mempraktekkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan di RS sehingga keluarga benar-benar mampu merawat pasien di rumah.
  2. Discharge planning, yaitu merencanakan perawatan pasien di rumah setelah selesai menjalani perawatan di RS. Yang dilakukan pada tahap ini adalah membantu keluarga membuat jadwal aktivitas pasien di rumah termasuk minum obat, dan menjelaskan follow up pasien setelah pulang dari RS.    


Demikian gambaran singkat tentang managemen perilaku kekerasan di RS dalam menangani pasien dengan perilaku kekerasan. Buat teman-teman seprofesi mohon dikoreksi bila saya salah dalam memberikan informasi tentang managemen perilaku kekerasan ini. Semoga bermanfaat…

Readmore »»

Jumat, 29 Mei 2009

Tentang Saya




















Terus terang saya kesulitan untuk menggambarkan diri saya dengan kata-kata. Saya takut terjebak dalam gaya bahasa hiperbolik. Jadi, saya kira lebih mudah buat saya dan Anda, jika saya perlihatkan gambar saya dan orang dekat saya.Selebihnya lihat saja profil lengkap saya.






















Banyak orang berpendapat bahwa gambar bisa memberikan detil yang ribuan kali lebih tepat daripada kata-kata. Namun saya sadar dengan membiarkan Anda menilai gambar-gambar tsb secara subyektif, mungkin penilaian Anda tidak sama dengan saya atau yang lain. Ahh...terserahlah.


Kalau bisa sih...lihat saja, dan jangan menilai...supaya tidak muncul rasa suka atau tidak suka. Sorry, dua-duanya tidak mengenakkan buat saya...sebab saya tidak bisa menjadi diri saya lagi.

Readmore »»

Blog Kejiwaan


Sampai dengan usia 20 tahun saya masih kebingungan dengan diri saya. Banyak hal yang tidak bisa saya pahami tentang diri saya. Di saat orang lain dengan mudah mengekspresikan perasaannya kepada yang lain, entah itu menangis atau bersorak gembira dan tertawa terbahak-bahak, justru saya heran kenapa saya malu untuk teriak dan tertawa lepas, dan sulit menangis. Bahkan tak bisa meneteskan air mata. Yang ada cuma diam tak bisa berkata-kata dengan kerongkongan terasa sakit karena menahan emosi yang mendesak untuk dilepaskan seakan-akan memang dari situlah jalan keluarnya. Atau ketika orang lain begitu mudah membagi perhatian pada banyak orang dan banyak subyek serta mudah beralih pada aktivitas lain, justru saya bingung kenapa perhatian saya hanya bisa tertuju pada satu obyek dan sulit untuk melepaskan perhatian saya kepada hal lain atau aktivitas baru. Dan masih banyak lagi yang belum saya ceritakan tentang keheranan saya mengenai diri saya sendiri saat itu. Saya bingung, malu, dan tidak tahu mau bertanya pada siapa saat itu. Tidak ada yang mengerti dengan kesulitan-kesulitan saya. Sampai akhirnya saya masuk mengikuti pendidikan SPKSJ Magelang tahun 1992, yaitu Sekolah Perawat Kesehatan Spesialis Jiwa sebelum akhirnya berubah menjadi AKPER Depkes Magelang tahun 1997. Saya begitu menikmati kuliah-kuliah ilmu jiwa, tentang dinamika fungsi-fungsi jiwa, perbedaan individual, tentang kepribadian, tentang kesehatan jiwa, dsb. Mata saya sedikit terbuka dan mulai memahami arti manusia secara utuh. Tapi terus terang saya masih belum bisa memahami keunikan diri saya dan masih berkutat dengan keheranan dan kebingungan saya menghadapi diri saya yang banyak kelemahan (menurut saya saat itu).



Setelah lulus dari pendidikan dan mulai bekerja di RSJ Magelang, saya jadi lebih banyak waktu untuk membaca dan merenungi topik-topik yang menarik perhatian saya tanpa harus dikejar dengan tugas-tugas kuliah dan jadwal kuliah. Topik paling menarik buat saya tentu saja adalah diri saya. Dan itu saya temukan ketika membaca buku Psikologi Umum karya Kartini Kartono. Senang sekali membaca buku itu. Rasanya seperti bercermin, saya bisa melihat diri saya secara lebih obyektif dari bagian per bagian serta bisa melihat hubungan-hubungannya secara utuh sehingga jadilah saya pribadi yang satu, utuh dan unik. Dari buku itulah kebingungan saya terjawab dan mulailah saya mengalami perasaan-perasaan takjub dengan keadaan diri saya. Saya menemukan kelebihan saya adalah kekurangan saya juga..seperti yang saya gambarkan sebagai kelemahan saya di atas. Mereka yang mudah membagi perhatian dan mudah mengalihkan perhatian ternyata kesulitan mengerjakan hal-hal yang membutuhkan konsentrasi perhatian pada satu obyek dan terus menerus, misalnya seperti menulis atau membaca, melukis, dsb. Saya temukan keunikan saya yang membedakan saya dari orang lain. Saya alami apa yang disebut sebagai 'AHA Erleibness', suatu istilah dalam psikologi yang menggambarkan perasaan takjub, heran, dan gembira karena menemukan suatu pencerahan. Saya kira saat itulah saya menemukan jati diri saya yang selalu saya cari pada diri orang lain, tokoh idola, dan orang terkenal, tapi tidak pernah ketemu karena ternyata ada dalam diri saya sendiri. Dan saat itulah saya mulai meninggalkan mereka sebagai idola saya karena saya melihat bahwa mereka bukan makhluk sempurna, mereka tidak memiliki kelebihan yang saya miliki dan saya memiliki kekurangan yang tidak dipunyai mereka. Benar-benar unik, saya tidak bisa menyamai mereka dan begitu pula sebaliknya. Dari situ saya jadi makin menyukai dunia dalam diri saya dan setiap orang di dunia ini, yaitu kejiwaan.

Ketika saya mulai mengenal dunia blogging di internet, yang terpikir oleh saya adalah: inilah media yang sesuai dengan keunikan saya, di mana saya bisa berbagi pada dunia mengenai pengalaman, perasaan, pengetahuan dan ketertarikan saya pada kejiwaan. Saya berharap lewat tulisan-tulisan pendek di blog ini saya bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya pada orang lain di seluruh dunia dengan pemahaman saya atas diri saya dan mudah-mudahan pemahaman saya atas diri mereka juga. Sebenarnya saya tidak yakin benar bahwa saya sudah memahami seluk-beluk kejiwaan pada diri saya, apa lagi pada orang lain, tetapi saya yakin bahwa dengan menyampaikan ketidaktahuan saya, akan datang pengetahuan yang akan meluruskan pemahaman saya. Mungkin dari Anda, mungkin dari pakar ilmu jiwa, atau siapa saja yang mampir ke blog ini dan berkenan meninggalkan komentarnya untuk di-sharing kepada setiap pengunjung blog Kejiwaan.

Blog ini tidak saya peruntukkan secara khusus bagi praktisi ataupun mahasiswa sekolah kesehatan, melainkan untuk umum. Siapa saja boleh berkunjung ke situs ini dan memberikan komentarnya dengan bebas tanpa moderasi dari saya. Begitu Anda poskan komentar Anda, saat itu juga komentar Anda sudah bisa dilihat orang sedunia.

Di blog Kejiwaan Anda akan menemukan artikel-artikel yang berupa ungkapan pikiran, perasaan, pengetahuan dan pengalaman saya tentang kejiwaan. Semua itu saya masukkan pada label Kejiwaan. Pada label Renungan, Anda akan menemukan ungkapan-ungkapan pemikiran para ahli jiwa dan tokoh terkenal di dunia yang patut kita renungkan. Dari perkataan-perkataan merekalah saya (dan mungkin juga Anda) bisa menemukan kebijakan dan pencerahan jiwa. Kemudian pada label Tentang Saya, ahh...apa yang bisa saya ceritakan tentang saya? Silakan lihat sendiri.

Terakhir, semoga Anda menemukan apa yang Anda cari di sini...



Pur Wiyadi





Readmore »»