Subscribe

Jumat, 29 Mei 2009

Tentang Saya




















Terus terang saya kesulitan untuk menggambarkan diri saya dengan kata-kata. Saya takut terjebak dalam gaya bahasa hiperbolik. Jadi, saya kira lebih mudah buat saya dan Anda, jika saya perlihatkan gambar saya dan orang dekat saya.Selebihnya lihat saja profil lengkap saya.






















Banyak orang berpendapat bahwa gambar bisa memberikan detil yang ribuan kali lebih tepat daripada kata-kata. Namun saya sadar dengan membiarkan Anda menilai gambar-gambar tsb secara subyektif, mungkin penilaian Anda tidak sama dengan saya atau yang lain. Ahh...terserahlah.


Kalau bisa sih...lihat saja, dan jangan menilai...supaya tidak muncul rasa suka atau tidak suka. Sorry, dua-duanya tidak mengenakkan buat saya...sebab saya tidak bisa menjadi diri saya lagi.

Readmore »»

Blog Kejiwaan


Sampai dengan usia 20 tahun saya masih kebingungan dengan diri saya. Banyak hal yang tidak bisa saya pahami tentang diri saya. Di saat orang lain dengan mudah mengekspresikan perasaannya kepada yang lain, entah itu menangis atau bersorak gembira dan tertawa terbahak-bahak, justru saya heran kenapa saya malu untuk teriak dan tertawa lepas, dan sulit menangis. Bahkan tak bisa meneteskan air mata. Yang ada cuma diam tak bisa berkata-kata dengan kerongkongan terasa sakit karena menahan emosi yang mendesak untuk dilepaskan seakan-akan memang dari situlah jalan keluarnya. Atau ketika orang lain begitu mudah membagi perhatian pada banyak orang dan banyak subyek serta mudah beralih pada aktivitas lain, justru saya bingung kenapa perhatian saya hanya bisa tertuju pada satu obyek dan sulit untuk melepaskan perhatian saya kepada hal lain atau aktivitas baru. Dan masih banyak lagi yang belum saya ceritakan tentang keheranan saya mengenai diri saya sendiri saat itu. Saya bingung, malu, dan tidak tahu mau bertanya pada siapa saat itu. Tidak ada yang mengerti dengan kesulitan-kesulitan saya. Sampai akhirnya saya masuk mengikuti pendidikan SPKSJ Magelang tahun 1992, yaitu Sekolah Perawat Kesehatan Spesialis Jiwa sebelum akhirnya berubah menjadi AKPER Depkes Magelang tahun 1997. Saya begitu menikmati kuliah-kuliah ilmu jiwa, tentang dinamika fungsi-fungsi jiwa, perbedaan individual, tentang kepribadian, tentang kesehatan jiwa, dsb. Mata saya sedikit terbuka dan mulai memahami arti manusia secara utuh. Tapi terus terang saya masih belum bisa memahami keunikan diri saya dan masih berkutat dengan keheranan dan kebingungan saya menghadapi diri saya yang banyak kelemahan (menurut saya saat itu).



Setelah lulus dari pendidikan dan mulai bekerja di RSJ Magelang, saya jadi lebih banyak waktu untuk membaca dan merenungi topik-topik yang menarik perhatian saya tanpa harus dikejar dengan tugas-tugas kuliah dan jadwal kuliah. Topik paling menarik buat saya tentu saja adalah diri saya. Dan itu saya temukan ketika membaca buku Psikologi Umum karya Kartini Kartono. Senang sekali membaca buku itu. Rasanya seperti bercermin, saya bisa melihat diri saya secara lebih obyektif dari bagian per bagian serta bisa melihat hubungan-hubungannya secara utuh sehingga jadilah saya pribadi yang satu, utuh dan unik. Dari buku itulah kebingungan saya terjawab dan mulailah saya mengalami perasaan-perasaan takjub dengan keadaan diri saya. Saya menemukan kelebihan saya adalah kekurangan saya juga..seperti yang saya gambarkan sebagai kelemahan saya di atas. Mereka yang mudah membagi perhatian dan mudah mengalihkan perhatian ternyata kesulitan mengerjakan hal-hal yang membutuhkan konsentrasi perhatian pada satu obyek dan terus menerus, misalnya seperti menulis atau membaca, melukis, dsb. Saya temukan keunikan saya yang membedakan saya dari orang lain. Saya alami apa yang disebut sebagai 'AHA Erleibness', suatu istilah dalam psikologi yang menggambarkan perasaan takjub, heran, dan gembira karena menemukan suatu pencerahan. Saya kira saat itulah saya menemukan jati diri saya yang selalu saya cari pada diri orang lain, tokoh idola, dan orang terkenal, tapi tidak pernah ketemu karena ternyata ada dalam diri saya sendiri. Dan saat itulah saya mulai meninggalkan mereka sebagai idola saya karena saya melihat bahwa mereka bukan makhluk sempurna, mereka tidak memiliki kelebihan yang saya miliki dan saya memiliki kekurangan yang tidak dipunyai mereka. Benar-benar unik, saya tidak bisa menyamai mereka dan begitu pula sebaliknya. Dari situ saya jadi makin menyukai dunia dalam diri saya dan setiap orang di dunia ini, yaitu kejiwaan.

Ketika saya mulai mengenal dunia blogging di internet, yang terpikir oleh saya adalah: inilah media yang sesuai dengan keunikan saya, di mana saya bisa berbagi pada dunia mengenai pengalaman, perasaan, pengetahuan dan ketertarikan saya pada kejiwaan. Saya berharap lewat tulisan-tulisan pendek di blog ini saya bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya pada orang lain di seluruh dunia dengan pemahaman saya atas diri saya dan mudah-mudahan pemahaman saya atas diri mereka juga. Sebenarnya saya tidak yakin benar bahwa saya sudah memahami seluk-beluk kejiwaan pada diri saya, apa lagi pada orang lain, tetapi saya yakin bahwa dengan menyampaikan ketidaktahuan saya, akan datang pengetahuan yang akan meluruskan pemahaman saya. Mungkin dari Anda, mungkin dari pakar ilmu jiwa, atau siapa saja yang mampir ke blog ini dan berkenan meninggalkan komentarnya untuk di-sharing kepada setiap pengunjung blog Kejiwaan.

Blog ini tidak saya peruntukkan secara khusus bagi praktisi ataupun mahasiswa sekolah kesehatan, melainkan untuk umum. Siapa saja boleh berkunjung ke situs ini dan memberikan komentarnya dengan bebas tanpa moderasi dari saya. Begitu Anda poskan komentar Anda, saat itu juga komentar Anda sudah bisa dilihat orang sedunia.

Di blog Kejiwaan Anda akan menemukan artikel-artikel yang berupa ungkapan pikiran, perasaan, pengetahuan dan pengalaman saya tentang kejiwaan. Semua itu saya masukkan pada label Kejiwaan. Pada label Renungan, Anda akan menemukan ungkapan-ungkapan pemikiran para ahli jiwa dan tokoh terkenal di dunia yang patut kita renungkan. Dari perkataan-perkataan merekalah saya (dan mungkin juga Anda) bisa menemukan kebijakan dan pencerahan jiwa. Kemudian pada label Tentang Saya, ahh...apa yang bisa saya ceritakan tentang saya? Silakan lihat sendiri.

Terakhir, semoga Anda menemukan apa yang Anda cari di sini...



Pur Wiyadi





Readmore »»

Kamis, 28 Mei 2009

Penerimaan (Acceptance)

Carl Rogers :

"I would like to propose, as an hypothesis for consideration, that the major barrier to mutual interpersonal communication is our very natural tendency to judge, to evaluate, to approve or disapprove."
(Saya ingin menyatakan, sebagai hipotesis untuk dipikirkan, bahwa penghalang utama komunikasi interpersonal timbal-balik adalah kecenderungan alamiah kita untuk menilai, mengevaluasi, menyetujui atau menolak)

"... when someone understands how it feels and seems to be me, without wanting to analyze me or judge me, then I can blossom and grow in that climate."
(... bila orang lain memahami bagaimana perasaan dan pandangan saya tanpa berkeinginan untuk menganalisa atau menilai saya, barulah saya dapat tumbuh dan berkembang pada iklim seperti itu)


Jalaluddin Rahmat :

"Sikap menerima tidaklah semudah yang dikatakan. Kita selalu cenderung menilai dan sukar menerima. Akibatnya, hubungan interpersonal kita tidak berlangsung seperti yang kita harapkan. Bila kita tidak bersikap menerima, kita akan mengkritik, mengecam,atau menilai. Sikap seperti ini akan menghancurkan percaya. Orang enggan pula menerima kita, karena takut pada akibat-akibat jelek yang akan timbul dari reaksi kita. Sikap menerima menggerakkan sikap percaya, karena orang tahu kita tidak akan merugikan mereka."

"Menerima tidaklah berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya. Menerima berarti tidak menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi. Betapapun jeleknya perilakunya menurut persepsi kita, kita tetap berkomunikasi dengan dia sebagai persona, bukan sebagai objek."

Readmore »»

Children Learns What They Live

(by Dorothy Law Nolte)

 



If a child lives with criticism, he learns to condomn…

(Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki)

If a child lives with hostility, he learns to fight…

(Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi)

If a child lives with ridicule, he learns to be shy…

(Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri)

If a child lives with shame, he learns to feel guilty…

(Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri)

If a child lives with tolerance, he learns to be patient…

(Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri)

If a child lives with encouragement, he learns to confident…

(Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri)

If a child lives with praise, he learns to appreciate…

(Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai)

If a child lives with fairness, he learns justice…

(Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan)

If a child lives with security, he learns to have faith…

(Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan)

If a child lives with approval, he learns to like himself…

(Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri)

If a child lives with acceptance and friendship,  he learns to find love in the world.

(Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan)



Keterangan:

Puisi ini saya kutip dari buku 'Psikologi Komunikasi' karya Jalaluddin Rahmat (1998), salah satu buku favorit saya.

Readmore »»

Jumat, 22 Mei 2009

Perilaku Kekerasan (Amuk) pada Pasien Jiwa

Pertanyaan klise yang paling sering diajukan ketika saya bertemu dengan orang yang baru tahu kalau saya bekerja sebagai perawat di RSJ adalah: " Bagaimana jika ada pasien yang mengamuk? Apa yang akan saya lakukan (atau mungkin lebih tepat apa yang akan dilakukan oleh petugas di RS)?" Saya tidak heran, mereka menanyakan hal itu karena belum tahu. Bahkan pertanyaan seperti itu juga diajukan oleh mahasiswa dan petugas kesehatan yang notabene pernah mempelajarinya di bangku kuliah tapi belum pernah masuk lingkungan Rumah Sakit Jiwa. Melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk menyelami salah satu dari banyak gejala yang mungkin timbul pada pasien dengan gangguan jiwa (malah mungkin yang paling ditakuti kebanyakan orang), yaitu perilaku amuk dan penanganannya di RS.

Darimana asalnya perilaku amuk?

Perilaku amuk (kekerasan) adalah salah satu bentuk ekspresi perasaan marah. Manifestasi perasaan marah dapat berbeda pada setiap individu dan berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptive, dari respon asertif – frustrasi – pasif – agresif – sampai kekerasan. Asertif artinya mengungkapkan perasaan secara spontan, tegas dan terbuka tanpa menyakiti perasaan orang lain. Frustrasi adalah respon marah yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa kecewa, kalah, terkekang, gagal karena tidak mendapatkan kebutuhan/keinginannya. Pasif adalahkeadaan emosional dimana individu berusaha menekan respon marahnya, melarikan diri secara psikis dan meniadakan kenyataan bahwa ia membutuhkan sesuatu yang gagal terpenuhi, bisa berwujud sikap apatis/tidak peduli, masa bodoh, dan tidak mau tahu. Agresif merupakan perilaku menuntut disertai ancaman kata-kata tanpa niat melukai, ybs memperlihatkan permusuhan tapi umumnya masih bisa mengontrol perilakunya. Kekerasan (amuk) adalah perilaku tak terkendali yang ditandai dengan menyentuh diri sendiri atau orang lain secara menakutkan, mengancam disertai melukai pada tingkat ringan sampai melukai/merusak secara serius.

Coba perhatikan gambar foto anak kecil yang sedang mengekspresikan perasaannya di samping. Ada suatu keinginan dari si anak yang tidak dapat dipenuhi oleh orang tuanya karena suatu alasan yang tidak bisa dipahami oleh anak itu. Menurut Anda, respon marah yang mana dari semua respon marah di atas yang saat ini sedang diperlihatkan oleh si anak? Adaptif atau maladaptif?

Dari keterangan di atas tampak jelas bahwa perilaku amuk (kekerasan) timbul dari perasaan marah. Marah didefinisikan sebagai perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Perasaan ini normal dan dapat muncul pada siapa pun, tidak hanya pada pasien jiwa. Tetapi marah yang diekspresikan dengan agresif dan amuk jelas tidak dapat diterima oleh norma social (maladaptive).

Faktor Presipitasi (pencetus)

Berbagai macam stressor dalam kehidupan dapat menjadi pencetus perilaku kekerasan. Stressor bisa berasal dari diri sendiri (kelemahan/penyakit fisik, keputus-asaan, kegagalan meraih sesuatu yang diinginkan, harga diri rendah), situasi lingkungan (lingkungan yang ribut, padat), atau interaksi dengan orang lain (kritikan yang mengarah pada hinaan, kehilangan orang/barang yang dicintai, perasaan ditolak/diabaikkan, dizalimi, dsb).

Faktor predisposisi (yang memudahkan)





  1. Psikologis. Kegagalan, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan: perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau saksi penganiayaan.
  2. Perilaku. Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan (misal:"Bagus, pukul lagi, kamu kan anak laki!"), sering mengobservasi kekerasan di rumah / di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu untuk mengadopsi perilaku kekerasan.
  3. Sosial budaya. Budaya tertutup dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
  4. Bioneurologis. Banyak pendapat bahwa kerusakan otak pada system limbic, lobus frontal, lobus temporal dan ketidak-seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan dapat disebabkan oleh apapun. Kehidupan ini terlalu kompleks. Banyak stressor datang menghampiri kita dan jikalau kita tidak bisa menyesuaikan diri maka mungkin saja kita meresponnya dengan cara-cara yang maladaptif termasuk dengan mengamuk. Meski perilaku kekerasan sukar diprediksi karena setiap orang dapat bertindak keras, ada kelompok tertentu yang memiliki kecenderungan untuk melakukannya. Kelompok itu adalah: pria berusia 15 - 25 tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgrup dengan budaya kekerasan; peminum alkohol.

Individu yang beresiko melakukan tindak kekerasan

Kunci penentu perilaku kekerasan pada individu adalah: riwayat perilaku kekerasan pada masa lalu, pengguna aktif alkohol, kekerasan fisik pada masa kanak-kanak, dan beberapa bentuk trauma otak.

Tanda-tanda meningkatnya kemarahan

Secara fisik terjadi perubahan-perubahan pada individu seiring dengan meningkatnya kemarahan seperti: muka merah, pandangan tajam, otot-otot tegang, nada suara meninggi, dan berdebat. Sering pula tampak pada pasien jiwa dengan perilaku kekerasan memaksakan kehendak misalnya merampas barang, memukul jika tidak senang. Secara verbal, tidak jarang individu menyatakan perasaan marahnya dengan kasar dan nada tinggi sehingga menarik perhatian. Umumnya tidak sulit untuk menentukan seseorang dalam keadaan amuk karena perubahan perilakunya tampak jelas. Yang sulit adalah memprediksikan seseorang akan melakukan tindak kekerasan.

Bagaimana penanganan pasien dengan perilaku amuk di RS?

Penanganan pasien amuk di RS terdiri dari Managemen Krisis dan Managemen Perilaku Kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan yang dilakukan pada saat terjadi perilaku amuk oleh pasien. Tujuannya untuk menenangkan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain dan lingkungan karena perilakunya yang tidak terkontrol. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan yang dilakukan setelah situasi krisis terlampaui, di mana pasien telah dapat mengendalikan luapan emosinya meski masih ada potensi untuk untuk meledak lagi bila ada pencetusnya.

Managemen krisis

Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang membahayakan baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan. Walaupun sulit sedapat mungkin pasien diminta untuk tetap tenang dan mampu mengendalikan perilakunya. Bicara dengan tenang, nada suara rendah, gerakan tidak terburu-buru, sikap konsisten dan menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya mampu mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya dengan lebih baik.

Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar isolasi harus dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau dicederai orang lain, membutuhkan pembatasan interaksi dengan orang lain dan memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan. Pada saat akan dilakukan tindakan isolasi ini pasien diberi penjelasan mengenai tujuan dan prosedur yang akan dilakukan sehingga pasien tidak merasa terancam dan mungkin ia akan bersikap lebih kooperatif. Selama dalam kamar isolasi, supervisi dilakukan secara periodik untuk memantau kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang dibutuhkan termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti nutrisi, eliminasi, kebersihan diri, dsb.

Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya, berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan melakukan pengekangan/pengikatan fisik. Tindakan ini masih umum digunakan petugas di RS dengan disertai penggunaan obat psikotropika. Untuk menghindari ego pasien terluka karena pengikatan, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa tindakan pengikatan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan pencegahan resiko yang dapat ditimbulkan oleh perilaku pasien yang tidak terkendali. Selain itu juga perlu disampaikan pula indikasi penghentian tindakan pengekangan sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam memperbaiki keadaan. Selama pengikatan, pasien disupervisi secara periodik untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan. Selanjutnya pengekangan dikurangi secara bertahap sesuai kemampuan pasien dalam mengendalikan emosi dan perilakunya, ikatan dibuka satu demi satu, dilanjutkan dengan pembatasan gerak (isolasi), dan akhirnya kembali ke lingkungan semula.

Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif ditenangkan dengan obat sedatif dan atau antipsikotik yang sesuai. Obat sedatif yang biasa digunakan misalnya Valium injeksi 5 - 10 mg atau lorazepam (Ativan) 2 -4 mg yang bisa diberikan secara intramuskuler atau intravaskuler. Pada umumnya obat antipsikotik yang paling bermanfaat untuk pasien jiwa yang melakukan kekerasan adalah injeksi Haloperidol 5 -10 mg yang diberikan secara intra muskuler.

Alternatif lain jika obat-obat farmakoterapi tidak efektif adalah dengan ECT (Electro ConvulsionTherapy), suatu upaya menimbulkan kejang umum dengan induksi listrik pada sel otak. Aliran listrik yang digunakan sangat kecil dan berlangsung sangat singkat. Untuk mendapatkan efek menguntungkan dari ECT maka kejang umum harus timbul segera setelah pemberian ECT. Biasanya setelah mengalami kejang umum, pasien akan tertidur beberapa saat dan ketika bangun perilaku agitatifnya sudah menurun. Therapi ini aman dan efektif untuk mengendalikan kekerasan psikotik. Satu atau beberapa kali ECT dalam beberapa jam biasanya mengakhiri suatu episode kekerasan psikotik.

Wah..capek juga nih berpikir, mengingat, dan mencari bahan sambil ngetik. Udah dulu ah... Biarlah masalah managemen perilaku kekerasan dipending untuk bahan posting berikutnya dan menjadi hutang yang harus saya bayar nanti kalau ada kesempatan. Semoga bermanfaat...

to be continued


Sumber:
  1. Budi Anna Kelliat (2002): Makalah Pelatihan Nasional "Asuhan Keperawatan Jiwa dan Komunikasi Therapeutik Keperawatan", PPNI Komisariat RS Dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Tidak Dipublikasikan.
  2. Kaplan & Saddock (1997): Sinopsis Psikiatri Jilid 2, Edisi VII, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
  3. David A. Tomb (2003): Buku Saku Psikiatri, Edisi VI, EGC, Jakarta.
  4. Kartini Kartono & Dali Gulo (2000): Kamus Psikologi, Pionir Jaya, Bandung.

Readmore »»

Selasa, 19 Mei 2009

Antara Komunikasi, Perilaku dan Pengalaman Kesadaran Manusia

Menarik sekali membaca kisah Genie dalam buku karya Jalaludin Rahmat(1998): Psikologi Komunikasi. Buku ini adalah buku favorit saya, yang saya beli ketika masih kuliah di Bandung tahun 1996-1999. Sudah 3 kali tuntas saya baca tapi masih tetap menarik untuk dibaca-baca lagi. Kisah tentang Genie menginspirasi kesadaran saya tentang pentingnya komunikasi bagi pertumbuhan kepribadian anak-anak kita. Kisah tsb saya tuliskan kembali di bawah ini.


Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Setiap saat tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, "Dunia tidak akan pernah mengerti."


Mungkin ia benar. Dunia tidak akan pernah mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat begitu sangat membenci anaknya. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, denikian nama samaran gadis tsb, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecil ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tetapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Kakak laki-laki Genielah yang akhirnya berusaha memberi makan dan minum. Itupun sesuai dengan perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakak dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut pada ayahnya.


Ketika Genie masuk rumah sakit, tidak diketahui apakah ia dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia 1(satu) tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, linguis, neurolog, dan mereka yang tertarik mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali ketrampilan mengungkapkan pikirannya dalam bentuk lambang-lambang yang dipahami orang lain. Apakah kurangnya ketrampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang menyebabkan Susan Curtis, profesor linguistik di University of California, mencurahkan waktu 7 tahun untuk meneliti Genie (Pines,1981).



Sayang Jalaludin Rahmat tidak sekalian mengungkapkan hasil penelitian Susan Curtis tentang Genie. Dia hanya ingin menunjukkan dua poin penting dari kisah Genie ini. Pertama, komunikasi amat esensial bagi petumbuhan kepribadian manusia. Ahli-ahli ilmu sosial telah berkali-kali mengungkapkan bahwa kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian. Antropolog terkenal, Ashley Montagu (1967), dengan tegas menulis: "The most important agency through which the child learns to be human is communication, verbal also non verbal."
Kedua, komunikasi amat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia.


Kisah Genie telah menyadarkan saya betapa pentingnya komunikasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bisa jadi, terkadang kita tidak sadar telah melakukan pemasungan anak dalam bentuk yang berbeda dengan Genie. Saat kita memarahi anak dan melarangnya (dengan disertai tekanan dan ancaman) untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya karena apa yang telah dilakukannya, seperti: "Diam kamu! Bisa diam nggak?! Sudah salah masih mau membela diri kamu..." Mungkin menurut kita itu adalah kenakalannya dan harus disampaikan agar anak mengerti dan menyadarinya. Tetapi dengan penyampaian yang penuh tekanan dan bernada ancaman seperti itu bagaimana penerimaan anak? Apakah itu tidak sama dengan pemasungan terhadap kebebasan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya? Alangkah baiknya bila kita dapat lebih bersabar menghadapi kelakuan anak dan menjaga komunikasi yang sejajar (bukan vertikal) sehingga anak juga belajar berkomunikasi di samping belajar untuk introspeksi diri dengan cara yang lebih baik dan lebih nyaman karena tidak dalam tekanan. Semoga kita dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita. Dan yang terakhir, semoga anak-anak kita tidak akan mengalami nasib malang seperti Genie di atas.





Sumber: Jalaludin Rahmat (1998): Psikologi Komunikasi, PT Remadja Rosdakarya, Bandung.
Readmore »»