Subscribe

Selasa, 09 Juni 2009

Managemen Perilaku Kekerasan

Penanganan pasien dengan perilaku kekerasan di RS terbagi dalam 2 tahapan, yaitu managemen krisis dan managemen perilaku kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan pasien dalam situasi krisis saat terjadi perilaku kekerasan (amuk). Lebih lanjut tentang hal ini silakan baca 'Perilaku Kekerasan (Amuk) Pada Pasien Jiwa', saya tidak akan membahasnya di halaman posting ini. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan lanjut setelah situasi krisis reda di mana pasien sudah lebih mampu bersikap tenang, kooperatif, dan mampu mengendalikan luapan emosinya meski masih beresiko untuk melakukan tindak kekerasan. Tentu penanganannya berbeda karena situasi dan kondisi pasien berbeda. Sasaran intervensi dan tujuannya pun berbeda pula.


Bila pada managemen krisis tujuan intervensi bersifat jangka pendek, yaitu menenangkan/meredakan ketegangan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan akibat potensi perilakunya yang tidak terkontrol… maka pada managemen perilaku kekerasan tujuannya lebih bersifat jangka panjang, yaitu pasien mampu mengontrol perilaku amuknya yang maladaptif, serta mampu mengekspresikan perasaan marahnya secara tepat dan sehat. Hal ini bisa dicapai melalui pendidikan dan latihan. Banyak orang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaan marahnya secara tepat dan sehat karena tidak pernah mempelajarinya dan hanya mengikuti naluri amarahnya sehingga yang muncul kemudian adalah perilaku maladaptif. Tentu hal ini berbahaya bagi dirinya sendiri , orang lain maupun lingkungan.


Selanjutnya bila pada managemen krisis sasaran intervensi difokuskan secara khusus pada pasien… maka pada managemen perilaku kekerasan sasarannya adalah pasien dan keluarga. Bagaimanapun juga keluarga menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikkan karena tidak jarang sumber konflik berasal dari keluarga, selain kenyataan bahwa keluarga merupakan support system yang paling bermakna bagi proses pembelajaran dan kesembuhan pasien. Pada akhirnya pasien akan kembali ke keluarga setelah selesai menjalani program perawatan dan pengobatan di RS. Karenanya keluarga juga harus disiapkan untuk menerima dan mampu merawat pasien dengan perilaku kekerasan di rumah. Bila pasien memiliki kemampuan mengungkapkan perasaan marah secara tepat dan sehat, kemudian keluarga memahami dan memfasilitasi usaha pasien untuk mengendalikan emosinya, maka potensi perilaku kekerasan pada pasien dapat diminimalisir.


Managemen perilaku kekerasan dengan pasien sebagai sasaran mencakup 3 area tindakan, yaitu:

  • Meningkatkan kesadaran diri pasien mengenai penyebab perilaku kekerasannya, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dialaminya, bentuk perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya, serta akibat perilaku kekerasan pasien. Ini dilakukan untuk menumbuhkan motivasi pada diri pasien agar mau mempelajari cara-cara mengontrol perilaku kekerasan.
  • Meningkatkan kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan melalui pendidikan dan latihan. Pada tahap ini pasien diajari dan dilatih sampai ia betul-betul mampu mempraktekkan cara-cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik (relaksasi, kegiatan dan olahraga), secara verbal (asertif, sharing/cerita pada orang lain), secara spiritual (berdoa, sembahyang), dan secara farmakologis (minum obat). Selanjutnya pasien didorong untuk memilih cara yang sesuai bagi dirinya dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian.
  • Penguatan, pemeliharaan dan persiapan pulang. Pada tahap ini petugas bersama pasien mengevaluasi pelaksanaan jadwal kegiatan di RS untuk menentukan strategi penguatan bila diperlukan, membuat rencana jadwal kegiatan di rumah, dan mendiskusikan obat-obat yang diminum pasien (jenis, dosis, waktu minum, manfaat dan efek sampingnya).


Managemen perilaku kekerasan dengan keluarga sebagai sasaran mencakup 2 area tindakan, yaitu:

  1. Pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan di rumah. Pada tahap ini didiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien, kemudian petugas memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian, tanda dan gejala serta proses terjadinya perilaku kekerasan, dan juga cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Keluarga dapat dilibatkan secara langsung dalam mempraktekkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan di RS sehingga keluarga benar-benar mampu merawat pasien di rumah.
  2. Discharge planning, yaitu merencanakan perawatan pasien di rumah setelah selesai menjalani perawatan di RS. Yang dilakukan pada tahap ini adalah membantu keluarga membuat jadwal aktivitas pasien di rumah termasuk minum obat, dan menjelaskan follow up pasien setelah pulang dari RS.    


Demikian gambaran singkat tentang managemen perilaku kekerasan di RS dalam menangani pasien dengan perilaku kekerasan. Buat teman-teman seprofesi mohon dikoreksi bila saya salah dalam memberikan informasi tentang managemen perilaku kekerasan ini. Semoga bermanfaat…

4 komentar:

citra mengatakan...

uhmm..the cool blog i think,many information here..two thumbs up 4u!
about ur new post..thats the theory and i rather talk about the reality..
in fact we will face the walls..like the time that we need to therapy n receive the goal..a lot of patients in our mental hospital,less employee n the motivation especially our patient 2 do that..isn it?

Pur Wiyadi mengatakan...

@Citra: Yes, you're right..that is an ideal thing, but that one has been done by some nurses, especially in some MPKP's wards in RSSM. They have ever made 'Family Gathering' many times ago to get family support for patients. I don't know it still going on or not.

anik mengatakan...

pak Pur... sukses di bidang keperawatan jiwa ya... anik. alumni B8 pagi

Unknown mengatakan...

blog taekk dancokkk

Posting Komentar